homepage

Jumat, 11 Februari 2011

PUSAKA ISLAM DAN KEHIDUPAN MODERN

A.    PENDAHULUAN
    Sejak zama Rasul Allah Muhammad saw. kebudayaan Islam berkembang secara terus menerus, sejalan dengan perkembangan pemikiran dan meluasnya kekuasaan politik serta menyebarnya daerah penganut Islam. Pada masa keemasannya, Islam telah menjadi sebuah kekuatan yang mampu memberikan warna kepada dunia. Beberapa hasil pemikiran Islam telah dianggap sebagai pusaka  yang dijadikan sebagai landasan dalam kehidupan, mulai dari masa lalu hingga pada kehidupan modern pada saat ini.
    Pada masa itu terbentuk bermacam-macam struktur ide dan lembaga-lembaga dalam lapangan politik, lapangan ibadat, lapangan hukum, lapangan ekonomi, lapangan sosial dan bermacam-macam kebudayaan yang lain. Kebudayaan-kebudayaan yang baru berkembang tersebut senantiasa dengan bersumber kepada al-Qur’an dan contoh-contoh perbuatan dan fikiran Nabi Muhammad saw., dilanjutkan oleh para khalifah rasyidun dan khalifah raja-raja.
Sebuah penilaian kritis terhadap sejarah adalah salah satu tantangan yang dihadapi oleh Muslim dan Barat. Di satu sisi, pemikiran Islam dan warisan budayanya sebagian besar tidak diakui oleh Barat. Pada hakekatnya ini adalah akibat dari ide bahwa apa yang berkaitan dengan Islam tak dapat dielakkan, asing dan bertentangan dengan Barat, yang pada gilirannya dunia Islam disangkal posisinya dalam sejarah. Namun sesungguhnya Islam telah benar-benar meletakkan beberapa pondasi dalam dimensi kehidupan yang terus dikembangkan hingga saat ini. Sayid Qutb secara bulat meyakini superioritas sistem Islam dibanding sistem yang lain, karena kemampuannya membimbing manusia mencapai kesejahteraan, kedamaian dan keadilan, sehingga Islam itu baik bagi seluruh umat manusia, segala tempat dan waktu.
Suatu hal yang patut kita pertanyakan dalam hal ini adalah, apakah warisan-warisan Islam tersebut senantiasa harus kita ikuti tanpa adanya penyesuaian dengan kondisi yang ada pada saat ini, sementara pola kebudayaan pada masa lalu tidak mungkin sama dengan kondisi saat ini yang senantiasa berkembang mengikuti perkembangan zaman. Pada makalah ini akan coba diungkapkan beberapa pemikiran Islam pada masa lampau dan relevansinya dengan kehidupan modern saat ini, apakah hal tersebut memang patut untuk dipertahankan, atau harus ditinggalkan karena memang tidak sesuai dengan kondisi modern pada saat ini.

B.    Relevansi Pusaka Islam dan Kehidupan Modern
    Fakta sejarah telah yang tidak dapat dielakkan, menjelaskan bahwa Islam telah tumbuh sebagai pembentuk proses peradaban sekaligus sebagai kekuatan pengontrol mulai dari tingkat kerohanian sampai pada tingkat perpolitikan. Dalam perjalanan sejarah ini, Islam memperoleh kekayaan dan kedalaman pengalaman dimana melalui jalan inilah  Islam berkembang sebagai satu fenomena kesejarahan. Satu hal yang menjadi dasar kejayaan Islam adalah adanya keberanian dan kedinamisan untuk menyerbu keluar dari keterbelakangan kebudayaan serta mengambil dari kebudayaan masa lampau untuk kemudian dijadikan sebagai bagian dari dirinya sendiri.
Dengan adanya pemahaman bahwa gerakan modernisasi adalah merupakan suatu upaya kepada al-Qur’an, sunah Nabi dan ajaran-ajaran salaf,  maka jika pendapat ini diartikan sebagai suatu keinginan untuk membagun kembali masa depan Islam berdasarkan masa silam Islam, maka permasalahan yang dapat diangkat adalah bagaimana masa silam itu membimbingnya dan elemen-elemen sejarahnya yang mana yang dapat diubah, diutamakan dan diringkaskan. Berikut beberapa permaslahan yang akan coba diungkap berkaitan dengan permasalahan ini.
1)    Dogma politik
Terlepas dari keterkaitan apakah termasuk ajaran politik yang benar atau tidak, sebagian besar ajaran ajaran yang digagaskan Islam adalah merupakan asal-usul dalam perpolitikan. Dalam penentuan kepala pemerintahan misalnya, Islam telah memberikan ajaran untuk berdemokrasi. Diantara bukti yang tidak dapat disangkal kebenarannya adalah pada saat proses penetapan Abu Bakar sebagai khalifah pertama sebagai pengganti Rasulullah saw. Penetapan Abu Bakar adalah merupakan kesepakatan yang didukung oleh seluruh anggota masyarakat pada masa itu.  Seorang kepala pemerintahan dalam Islam harus benar-benar berwibawa dan mampu menempatkan dirinya sebagai pelaksana aspirasi rakyatnya. Pemerintahan harus lebih mencerminkan jiwa pengabdian yang murni dan bukannya keinginan untuk berkuasa.
Fazlur Rahman dalam Islam mengutip sebuah hadis berkenaan dengan masalah kepatuhan kepada otoritas pememipin, “Engkau harus shalat (walaupun) di belakang seorang pelaku dosa.”  Secara singkat hadis ini memberikan makna bahwa siapapun harus tunduk pada otoritas seorang pemimpin meskipun terhadap orang yang jahat. Dengan kata lain, jika seorang pemimpin telah dipilih oleh masyarakat, maka merupakan suatu kewajiban untuk patuh kepadanya. Pemahaman ini sesungguhnya merupakan sesuatu yang sanagat menbguntungkan pihak-pihak menguasa di satu sisi, dan sangat merugikan masyarakat pada pihak yang lain, karena dengan hal ini kalangan pemerintah berarti kelompok yang akan dibenarkan  segala tindakannya, baik tindakan yang benar maupun salah.
Al-Qur’an sebagai petunjuk dalam berbagai bidang kephidupan, tidak serta merta memberikan kemutlakan memimpin kepada penguasa. Sebagai alternatifnya antara lain dengan adanya konsep syura sebagai lembaga pengontrol. Konsep syura ini adalah merupakan implementasi dari ayat “…dan rusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka…”  Amruhum yang diartikan dengan urusan-urusan mereka dimaksudkan sebagai urusan umat secara keseluruhan yang harus diputuskan secara bersama-sama (dialogis).
Syura sebagai sebuah lembaga dalam jajaran lembaga tinggi negara, dapat berupa dewan legislatif yang bertugas mengontrol jalannya pemerintahan. Dewan ini bertugas memberikan kontrol pelaksanaan pemerintahan, syura pada prinsipnya adalah merupakan perpanjangan tangan dari kedaulatan rakyat secara keseluruhan pada sebuah negara. Sehingga seorang penguasa tidak bisa menjalankan roda pemerintahan secara membabi buta, tidak sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan.
Konsep-konsep yang ditawarkan dalam bidang politik ini setidaknya merupakan pondasi awal demokrasi yang senantiasa berkembang hingga saat ini, meskipun konsep awal yang ditawarkan Islam ini dalam catatan sejarah tidak sepenuhnya berjalan mulus. Arkoun menambahkan bentuk pemerintahan demokrsai sesungguhnya haruslah disesuaikan dengan kondisi yang ada, karena menurutnya ketika Rasulullah memerintah,wewenang didasarkan pada  ketegasan makna yang diambil dari wacana al-Qur’an sedangkan kekuasaan politik tergambar dalam dunia nyata di Madinah.
Dengan demikian konsep kepatuhan secara mutlak kepada penguasa, yang merupakan suatu dogma yang bersumber dari warisan Islam, adalah sesuatu yang tidak relevan lagi dengan kondisi kehidupan modern masa kini. Lebih dari itu, seorang penguasa pada masa ini justru dapat dijatuhkan oleh kekuatan rakyat yang memiliki kedaulatan, seperti di Indonesia misalnya. Indonesia mengenal apa yang disebut dengan prinsip impeachment. Seorang penguasa jika melakukan sebuah pelanggaran harus mempertanggungjawabkannya kepada rakyat melalui perwakilannya di lembaga  rakyat (MPR/DPR). Sehingga merupakan suatu yang wajar jika penguasa melakukan pelanggaran tidak harus dipatuhi oleh rakyatnya, justru ia dapat digulingkan dari kekuasaannya, seperti apa yang pernah terjadi pada pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Soeharto yang lalu.

2)    Prinsip-prinsip Moral
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi umat Islam, terkandung di dalamnya antara lain hal-hal yang berkenaan dengan permasalahan bagaimana manusia harus bertingkah laku, tingkah laku terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Landasan moral dalam pola bertingkah laku ini kesemuanya dianggap sebagai suatu penghambaan atau ibadah kepada Tuhan, atau dengan kata lain setiap manusia mestilah menjadi insan yang bertaqwa. Sehingga manusia yang bertaqwa dalam hal ini tidak hanya diukur dari kesalehan ritual dan disiplin pribadi yang dimilikinya, melainkan juga harus ditunjukkan melalui tingkah laku kepada sesama.
Makna ini dapat ditemui antara lain dalam peribadatan pokok dalam Islam seperti sholat dan zakat. Dalam ibadah sholat setelah manusia berkomunikasi dengan Tuhannya, diakhir kegiatan ditutup dengan mendo’akan keselematan kepada sesama. Begitu pula dalam pelaksanaan zakat yang merupakan penutup kegiatan puasa ramadhan, setelah sebulan lamanya umat Islam berkonsentrasi untuk beribadah kepada Allah, pada akhirnya harus melakukan kegiatan sosial dengan menafkahkan sebagian rizkinya kepada masyarakat sekitarnya.
Secara kodrati manusia tercipta sebagai mahluk soaial, sehingga suatu menjadi hal yang mustahil untuk hidup demi kebaikan sendiri. Setiap manusia harus mampu memanifestasikan ketaqwaan dalam dirinya melalui amal saleh kepada lingkungannya. Ia harus mampu menjaga hubungan baik tidak hanya kepada Tuhannya saja, melainkan juga kepada lingkungan sekitarnya (hablummnallah wa hablumminannas). Dengan demikian, tidak benar jika ada orang yang mengaku dirinya saleh tetapi membiarkan terjadinya keterpurukan sosial dalam lingkungan masyarakat sekitarnya, tidak benar jika ada orang yang mengaku dirinya saleh tetapi membiarkan tetangganya berada dalam kemiskinan. Kesalehan ini sesungguhnya merupakan konsep solidaritas yang harus senantiasa dikembangkan hingga kehidupan modern saat ini.
Namun pada era kehidupan modern saat ini, konsep kesalehan sosial (solidaritas), sepertinya menjadi sesuatu yang sangat mahal nilainya. Pada kehidupan modern ini justru yang lebih menonjol adalah perlombaan untuk menjaga gengsi dan prestise diri tanpa adanya kepedulian kepada lingkungan sosial, kalaupun ada hanya sesuatu yang bersifat pamer dan untuk menunjukkan siapa dirinya agar dikenal sebagai orang yang dermawan, hal ini dapat kita lihat manakala terjadi musibah di mana-mana.
Dalam bidang sosial, Islam juga datang dengan konsep persamaan hak antara setiap lapisan masyarakat. Islam menghapus adanya kelas dan perbedaan, sehingga setiap manusia memiliki hak yang sama dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk di dalamnya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah adanya hubungan yang sangat erat antara kedatangan Islam dengan ajaran tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Islam tidak memandang adanya perbedaan antara umat manusia melalui perbedaan jenis kelamin.  Sejarah telah membuktikan, sebelum kedatangan Islam kaum wanita dipandang sebagai mahluk yang hina, tercela dan bahkan dianggap menyebabkan aib bagi keluarga. Islam datang sebagai gerakan revolusioner yang memberikan tempat dan kedudukan yang mulia bagi kaum wanita.
Pandangan baru tentang kedudukan wanita dalam Islam senantiasa berkembang hingga saat ini, pandangan ini dikenal dengan istilah gender.  Konsep kesetaraan gender yang telah ditanamkan oleh Islam sejak awal perktumbuhannya ini, senantiasa didengungkan perjuangannya hingga saat ini.
3)    Cita-cita Moral Ideal Kerohanian
Dalam dunia Islam dikenal adanya gerakan kerohaniahan yang dikenal dengan istilah sufisme. Sufisme yang pada awalnya merupakan suatu gerakan reaksi atas tingkah laku pemerintahan Bani Umayah yang lebih menonjolkan sekularisme, berlawanan dengan ketaatan dan kesederhanaan yang telah dicontohkan oleh para pemimpin pendahulunya.  Konsep tasawuf dalam al-Qur’an yang erat kaitannya dengan ajaran  tawakkal ini, menekankan kasalehan dalam suatu kerangka etika, lama-kelamaan berkembang menjadi menjadi lingkaran-lingkaran tertentu ke dalam sebuah doktrin ekstrim penolakan dunia, dengan landasan sebagai suatu penanaman iman yang besar ke dalam batin.
Seiring bergulirnya nafas medernisme dalam dunia Islam, konsep sufisme yang dianggap fokus pada dimensi batiniah saja, dan terkadang dieksploitasi oleh para pememimpin gerakan sufisme ini, diadakan usaha pemberantasan karena dianggap sebagai biang keladi terjadinya kerapuhan dalam masyarakat muslim.
Namun demikian, usaha ini sepertinya tidak memberikan hasil yang memuaskan, karena dari zaman ke zaman perkembangan ajaran sufistik senantiasa membelenggu pemikiran-pemikiran dan jiwa masyarakat yang lekas percaya, bahkan masyarakat yang berpendidikanpun tidak sedikit yang menjadi bagian dari sufisme ini.
4)    Masalah perekonomian
Kalau kehidupan di zaman modern ini menekankan masalah-masalah perekonomian, maka islam telah menetapkan suatu prinsip yang berasaskan jaminan sosial. Islamlah ajaran pertama yang telah menggariskan prinsip pemilikan massa dan mewajibkan hal itu kepada umatnya. Pemikiran dasar yang telah ditetapkan Islam adalah bahwa kemaslahatan umat itulah yang selamanya harus dijadikan sebagai tujuan dan tolak ukur, tanpa membahayakan atau menghilangkan hak-hak perorangan.  Pola pemikiran ini antara lain dapat ditemui dengan adanya syari’at zakat dalam Islam.
Sistem perekonomian yang telah digariskan oleh Islam ini pada perkembangan modern mungkin tidak berbeda dengan apa yang menjadi konsep ekonomi sosialis-komunis. Suatu hal yang mesti kita pahami adalah problematika dan dan sistem ekonomi itu selamanya berubah dan bersifat relatif, sehingga umat harus dilibatkan dalam proses mencapai kemaslahatan umum melalui usaha yang sungguh-sunggguh.

C.    PENUTUP
Islam yang dikatakan sebagai sesuatu yang membawa rahmat bagi sekalian alam, tentunya  tidak akan akan hanya menjadi sebuah slogan manakala mampu memberikan sesuatu yang bermanfaat, bagi masyarakat Islam itu sendiri maupun bagi masyarakat secara umum. Hal ini hanya akan dapat terealisasi manakala setiap penganutnya mampu memanifestasikan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya secara komprehensif.
Catatan sejarah telah membuktikan, bahwa Islam telah meletakkan beberapa pondasi sebagai prinsip dasar dalam kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan bidang kerohaniahan. Prinsip-prinsip dasar tersebut hingga saat ini dijadikan sebagai acuan dalam kerangka berfikir dalam pengembangan kehidupan masyarakat modern

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana,S. Takdir, “Sumbangan Islam Kepada Kebudayaan Dunia di Masa Lampau dan Akan Datang” dalam Sumbangan Islam Kepada Sains dan Peradaban Dunia, Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia, 2001.

Ar-Rais, Dhiya’ ad-Din, Islam dan Khilafah, Bandung: Penerbit Pusaka,           cet. I, 1985.
Boulatta, Issa J., Dekonstruksi Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Putro, Suadi, Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998.

Rahman, Fazlur, Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1992.

____________, Cita-cita Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar