homepage

Kamis, 27 Januari 2011

Nikah Dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Dalam ranah hukum perkawinan, syarat dan rukunnya tidak boleh tertinggal, dalam arti pernikahan tidak akan sah apabila keduanya tidak ada atau tidak dilengkapi. Rukun merupakan sesuatu yang berada dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mengujudkannya. Sedangkan syarat merupakan sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya namun juga menentukan keberadaan sesuatu tersebut.
Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang termasuk rukun dan mana yang termasuk syarat terdapat perbedaan yang subtansial dikalangan para ulama. Perbedaan ini dikarena adanya cara pandang yang berbeda diantara mereka mengenai fokus  perkawinan.
Nah berdasarkan fungsi penting dari syarat dan rukun dalam menentukan sah tidaknya pernikahan, dan ada perbedaan-perbedaan perdapat dikalangan para ulama, maka kira sangat menarik melakukan pembahasan tentang itu guna memahami lebih dalam lagi tentang syarat dan rukun nikah serta perbedaan pendapat ulama yang ada didalamnya.

B.     Rumusan Masalah
Untuk memudahkan pembahasan dalam makalah ini, maka penulis merumus pembahasan sebagai berikut :
      1.            Apa definisi nikah dan apa dasar hukumnya?
      2.            Apa saja rukun nikah dan  bagaimana pendapat ulama?
      3.            Apa saja syarat nikah dan macam-macamnya?


BAB II
PEMBAHASAN

      1.            Definisi Nikah
Secara bahasa nikah berarti ضم ‘bergabung’ dan الجمع ‘berkumpul’ atau ibarat dari hubungan kelamin (وطء) dan akad (عقد) . Adapun menurut syara’ nikah berarti akad yang mengandung maksud membolehkan bersenang-senang dengan perempuan dan hubungan kelamin selagi perempuan itu bukan muhrimnya. Adapun dasar hukum diperbolehkannya nikah adalah sebagaimana firman Allah dalam surat Nisa’ ayat yaitu :
(#qßsÅ3R$$sù... $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
Artinya :
”Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”.  (Q.S Nisa’: 3)

      2.            Macam-Macam Rukun Nikah
Dalam mendefinisikan tentang makna rukun nikah terdapat beberapa ulama yang memiliki pendapat dan memaknaan yang berbeda, yaitu :
1)      Menurut ulama Hanafiyah Rukun adalah sesuatu yang menyebabkan adanya atau terwujudnya sesuatu. Dan menurut beliau, rukun merupakan bagian atau unsur dari sesuatu tersebut. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang menyebabkan terwujudnya sesuatu namun syarat tidak termasuk dalam bagian dari sesuatu tersebut atau sesuatu yang diluar sesuatu tersebut.
2)      Menurut jumhur ulama rukun adalah sesuatu yang menyebabkan berdirinya sesuatu dan adanya sesuatu tersebut. Sehingga sesuatu tersebut tidak akan terwujud tanpa keberadaan rukun. Namun menurut jumhur ulama rukun tidak harus merupakan bagian dari sesuatu tersebut. Sedangkan syarat menurut jumhur ulama adalah sama halnya dengan apa yang dinyatakan ulama Hanafiyah yaitu sesuatu yang menyebabkan terwujudnya sesuatu yang tidak termasuk dalam bagian dari sesuatu tersebut atau yang  berada diluar sesuatu tersebut.
Dalam hal perkawinan Ijab-Qabul adalah merupakan rukun nikah. Hal ini disepakati secara aklamasi oleh para ulama bahwa Ijab-Qabul adalan rukun nikah karena fungsinya sebagai alat untuk menghubungkan atau mengikat antara pihak-pihak yang melakukan perkawinan. Sedangkan ridlo (kerelaan) dari orang yang melakukan perkawinan adalah termasuk syarat.
Dalam menentukan rukun-rukun perkawinan terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Menurut ulama Hanafiyah rukun nikah hanyalah Ijab-Qabul atau Shighat hal ini karena ulama Hanafiyah melihat pernikahan itu dari segi ikatan yang berlaku pihak-pihak yang melangsungkan pernikahan. Berbeda dengan Hanafiyah menurut jumhur ulama rukun perikahan ada 4 (empat) macam yaitu :
a.    Shighat (ijab-qabul).
b.    Calon mempelai wanita
c.    Mempelai pria, dan
d.   Wali.
Menurut jumhur saksi dan mahar bukanlah rukun nikah melainkan hanya sebagai syarat nikah. Namun menurut sebagian fuqaha’ saksi dan mahar dimasukkan dalam ranah rukun nikah sehingga rukun nikah menurut mereka ada 6 (enam) macam.
Shigat pernikahan adalah suatu akad yang berlansung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul. Dimana menurut Hanafiyah ijab merupakan kata/ucapan pertama kali yang diucapkan oleh dua orang yang berkad, baik itu dari pihak pria maupun dari pihak wanita. Dan qabul adalah ucapan yang kedua untuk menanggapi ijab. Sedangkan menurut jumhur ijab adalah ucapan penyerahan dari wali pihak wanita atau wakilnya kepada pihak pria, sedangkan qabul adalah ucapan penerimaan dari pihak pria.


Selain hal diatas, terdapat beberapa hal penting yang perlu dibahas berkenaan dengan Sighat/akad pernikahan, antara lain :
1)      Lafadz Shighat/Akad Nikah
Mengenai lafadz-lafadz yag digunakan dalam shighat nikah terdapat 3 (tiga) penggolongan yaitu :
-          Lafadz yang Disepakati Sah Oleh para Ulama
lafadz shighat nikah yang sah menurut ulama adalah lafadz-lafadz yang menunjukkan arti nikah secara langsung seperti : أنكحت - زوّجت
-          Lafadz yang Disepakati Batal
lafadz yang disepakati batal oleh para ulama adalah lafadz-lafadz yang tidak menunjukkan nikah atau kepemilikan pada waktu itu seperti :  أوصيت, dan lafadz-lafadz yang tidak menunjukkan kepemilikan sama sekali seperti :  أعرت – أجرت
-          Lafadz yang Masih Ikhtilaf.
Lafadz-lafadz yang masih ikhtilaf (diperdebatkan) adalah lafadz-lafadz yang tidak menunjukkan arti pernikahan secara langsung akan tetapi lafadz-lafadz tersebut menunjukkan arti kepemilikan yang tetap. seperti  أعطيت – صدقت – بعت - وههبت  : , dalam hal ini menurut ulama haafiyah da Malikiyah memboleh meggunakan lafadz-lafadz tersebut degan syarat harus ada niat atau qarinah yag menunjukkan pernikahan seperti menjelaskan mahar didalamya, saksinya paham, dan sebagainya.
Sedangkan menurut Syafi’iyah dan hanabilah lafadz-lafadz tersebut tidak sah karena akad nikah harus menggunakan lafadz nikah ( لفظ الزواج).
-          Lafadz Selain Arab
Menurut jumhur ulama, akad dengan selain bahasa arab hukumnya adalah sah asalkan mengandung arti nikah. Hal ini sah baik bagi orang yang bisa berbahasa arab maupun tidak. Sedangkan menurut ulama hanabilah bagi orang yang bisa berbahasa dan berakad nikah dengan bahasa selain arab maka hukumnya batal, dalam hal ini ulama hanabilah menyamakannya dengan lafadz-lafadz disepakati batal diatas. Namun bagi yang memang tidak bisa bahasa arab maka hukumnya sah karena alasan rukhshah.

2)      Akad dengan Tulisan dan Isyarat
Apakah sah orang yang berakad nikah dengan menggunakan tulisan atau isyarat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka terdapat 3 pembagian yaitu :
-          Bisa bicara dalam keadaan hadir.
Apabila kedua mempelai hadir di majlis dan keduanya mampu berbicara maka ulama sepakat bahwa akad dengan tulisan dan isyarat tidak sah. Meskipun tulisannya jelas dan isyaratya bisa dipahami karena meyulitkan para saksi.
-          Bisa bicara dalam keadaaan ghaib.
Apabila kedua mempelai mampu berbicara namun salah satuya tidak hadir maka menurut Hanafiyah sah akad dengan tulisan/utusan tersebut dengan syarat harus disaksikan dua orang saksi karena pada dasarnya tulisan dari orang yang tidak hadir sama dengan khitabnya orang yang hadir. Sedangkan menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan hanabilah, akad semacam itu mutlak tidak sah. Karena tulisan itu hanya merupakan kinayah.
-          Orang Bisu
Jika orang bisu tersebut bisa menulis, menurut Syafi’iyah orang tersebut tetap boleh akad dengan isyarat karena dlorurat, sedangkan menurut Hanafiyah orang tersebut harus akad dengan menggunakan tulisan dan tidak boleh dengan isyarat. Karena menurutnya tulisan itu lebih utama daripada isyarat.
Namun jika orang bisu tersebut tidak bisa menulis maka seluruh ulama sepakat akad tersebut sah dengan catatan isyarat tersebut dapat dipahami dan dikenal secara umum.

      3.            Macam-Macam Syarat Nikah
Syarat adalah sesuatu yang menyebabkan terwujudnya sesuatu namun syarat tidak termasuk dalam bagian dari sesuatu tersebut atau sesuatu yang diluar hakikat sesuatu tersebut. Syarat dalam pernikahan dibedakan menjadi 4 (empat) macam, yaitu :
1)      Syarat In’iqad (شروط الإنعقاد) adalah syarat yang menentukan terlaksananya suatu akad pernikahan. Bila salah satu saja syarat ini tidak terpenuhi maka akad nikah batal. Contoh, orang yang berakad harus cakap hukum.
2)      Syarat Shihah (شروط الصحة) adalah syarat yang menentukan dalam pernikahan yang berkenaan dengan akibat hukum, dalam artian jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka menyebabkan tidak sahnya suatu pernikahan. Contoh, mahar dalam pernikahan, tidak sah pernikahan tanpa adanya mahar.
3)      Syarat Nifaadz (شروط النفاذ) adalah syarat yang menentukan kelangsungan suatu pernikahan, jika syarat ini tidak terpenuhi maka menyebabkan fasa­d-nya pernikahan. Contoh, wali nikah adalah orang yang berwenang untuk menikahkan.
4)      Syarat Luzum (شروط  اللزوم) adalah syarat yang menentukan kepastian suatu perkawinan dalam arti tergantung kepadanya kelanjutan berlangsungnya suatu perkawinan sehingga dengan telah terdapatnya syarat tersebut tidak mungkin perkawinan yang sudah berlangsung itu dibatalkan. Hal ini berarti selama syarat itu belum terpenuhi perkawinan dapat dibatalkan, seperti suami harus sekufu dengan istrinya.

      1.            Syarat In’iqad
Yang termasuk syarat-syarat in’iqad  adalah :
1)      Syarat-syarat bagi Pihak yang Berakad
Bagi dua orang yang berakad maka disyaratkan harus ahliyatul at-tasharruf dalam artian orang tersebut bisa melakukan akad sendiri maupun untuk orang lain. Dalam hal ini adalah orang yang sudah tamyiz, maka bila yang berakad itu anak kecil yang belum tamyiz maka akadnya batal.
Selain itu yang berakad juga disyaratkan mempunyai kemampuan untuk mendengar perkataan orang lain, baik secara hakiki maupun secara hukmi.
2)      Syarat-syarat Calon Istri
Persayaratan bagi seorang mempelai wanita adalah bahwa mempelai wanita tersebut haruslah wanita yang sebenarnya (tidak banci). Hal ini dikarenakan menikahi sesama jenis hukumnya adalah haram, sehingga akad yang dilakukan adalah batal.
Selain itu wanita yang akan dinikahi disyaratkan bukan wanita yang haram dinikahi, adapun wanita yang haram dinikahi seperti saudara perempuan, anak perempuan, bibi, dan sebagainya.
3)      Syarat-syarat Shighat
Shighat mempunyai beberapa syarat yang menentukan sah tidaknya shighat yang diucapkan, yaitu :
-       Shighat harus diucapkan dalam satu majelis, meskipun kedua mempelai hadir namun berbeda majelis maka shighatnya batal.
-       Kesesuain isi ijab dengan isi qabul dan harus cocok.
-       Shighat dilakukan seketika itu juga, dalam artian shighat harus bersambung dan tidak boleh pisah.
      2.            Syarat Shihah
1)      Calon mempelai wanita tidak haram dinikahi.
2)      Shighat tidak dibatasi oleh waktu tertentu
3)      Adanya saksi
4)      Ridlo atau atas kemauan sendiri tanpa adanya keterpaksaan
5)      Kedua mempelai jelas orangnya
6)      Tidak sedang melakukan ibadah ihram
7)      Adanya mahar
8)      Akad diketahui orang banyak (umum)
9)      Para pempelai tidak menderita sakit yang ditakuti
10)  Hadirnya wali

      3.            Syarat Nifaadz
1)      Para mempelai harus ahliyah, mampu melakukan akad/transaksi sendiri. Dalam hal ini maka para mempelali harus berakal, baligh dan merdeka.
2)      Calon suami haruslah orang yang sudah mengerti (pintar)
3)      Wali yang mengakadkan haruslah wali yang lebih dekat
4)      Seorang wakil tidak boleh menyalahi amanah yang diembannya
5)      Yang bertindak mengakadkan kedua mempelai adalah orang yang berwenang untuk itu.
      4.            Syarat Luzum
1)      Membayar mahar mitsil jika menikai wanita merdeka ketika tidak ada ridlo walinya.
2)      Mempelai pria harus kufuh dengan mempelai pria.
3)      Suami harus sehat, bebas dari cacat dan impotensi bila seorang istri tidak ridlo atas 2 hal tersebut.





BAB III
KESIMPULAN

Dalam pembahasan diatas, secara sederhana dapat disimpulkan sebagai berikut :
      1.            Nikah adalah akad yang mengandung maksud membolehkan bersenang-senang dengan perempuan dan hubungan kelamin selagi perempuan itu bukan muhrimnya. Adapun salah satu dasar hukumnya adalah QS Nisa’:3.
      2.            Dalam menentukan rukun nikah para ulama berbeda pendapat, yaitu :
1)      Menurut Hanafiyah rukun nikah hanyalah ijab-qabul
2)      Menurut jumhur rukun nikah adalah ijab-qabul, calon istri, calon suami dan wali.
3)      Sebagian ulama rukun nikah adalah ijab-qabul, calon istri, calon suami dan wali, saksi dan mahar.
      3.            Syarat-syarat dalam pernikahan terbagi menjadi 4 (empat) macam, yaitu :
a)      Syarat In’iqad (شروط الإنعقاد).
b)      Syarat Shihah (شروط الصحة).
c)      Syarat Nifaadz (شروط النفاذ).
d)     Syarat Luzum (شروط  اللزوم)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar