homepage

Kamis, 27 Januari 2011

Manusia Anjing

Tidak tebatas pada penggunaan kata/ ungkapan saja sebetulnya, tapi sudah menyatu dengan sikap keseharian. Sikap-sikap anjing, yang menunjukan sifat kebinatangan sudah menjadi sifat sebagian manusia. Sifat ini merambah ke semua stratifikasi sosial pendidikan manusia. Tidak terbatas pada orang yang tidak berpendidikan atau yang bependidikan rendah saja. Sikap-sikap anjing (anjing dalam bahasa sunda) sudah merambah pada wilayah institusi agama, mahasiswa, dosen, para pejabat, para petugas haji. Bahkan kalau kita dengar berita-berita di Televisi, sikap-sikap ini sudah merambah pada seorang bapak/ ayah, guru ngaji dan banyak lagi.
Sikap anjing yang saya maksud adalah kecenderungan penggunaan naluri kebinatangan yang berlebihan, kecenderungan mengukur kenikmatan atau kebahagiaan hanya dengan ukuran materi, kebahagiaan akan didapat apabila sejauh mana kita mencapai hal-hal yang kita inginkan secara kebendaan. Entah ini karena pengaruh budaya dan keilmuan Barat yang cenderung materialistik, mengukur segala sesuatu dengan ukuran kebendaan dan tampilan pisik, atau memang kurangnya benteng diri dengan sesuatu hal yang transenden, entahlah.
Innalillahi, saya mendengar bahwa penyelenggaraan haji yang merupakan “proyek” rukun islam justeru banyak terjadi penyimpangan khususnya dalam hal pinancial, keuangannya dikorupsi oleh (oknum) petugas. Ini menunjukan institusi yang berbau “proyek” keimanan pun telah tergadaikan dengan sesuatu yang materi. Institusi yang seharusnya memberikan uswah, ternyata sebaliknya. Innalillahi, saya pun mendengar banyak berita tentang pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang ayah tehadap anak kandungnya, seorang adik memerkosa kakak kandungnya, kakek-kakek memerkosa cucunya, bahkan seorang anakpun sudah tega menodai ibu kandungnya. Seorang Guru ngaji pun yang seharusnya membimbing muridnya secara moral, justeru “membimbing” muridnya untuk melakukan perbuatan tuna susila.
Para (oknum) mahasiswa pun menunjukan hal yang sama. Tidak sedikit yang terjaring kumpul kebo, kasus perkosaan, ayam kampus, bandar narkoba dan lain-lain. Bahkan kalau kita baca buku “Kuda Troya Komunisme”, gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan moral dan reformasi tahun 1998, justeru dilumuri dengan perbuatan asusila, Innalillahi. Betapa tidak, mahasiswa yang terkenal dengan jargon agen perubahan itu, ternyata tidak konsisten dengan jargonnya. Lebih parah adalah yang seharusnya membimbing dan memotivasi mahasiswa untuk menentukan masa depannya, justeru merusaknya, dengan “membimbing”nya ala “privat” gratis di kostan alias ngamar. Sungguh tidak pantas, apalagi dilakukan di sebuah Perguruan Tinggi Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar