homepage

Senin, 31 Januari 2011

C.I.N.T.A

Cinta adalah satu perkataan yang mengandungi makna perasaan yang rumit. Bisa di alami semua makhluk. Penggunaan perkataan cinta juga dipengaruhi perkembangan semasa. Perkataan sentiasa berubah erti menurut tanggapan, fahaman dan penggunaan di dalam keadaan, kedudukan dan generasi masyarakat yang berbeza. Sifat cinta dalam pengertian abad ke 21 mungkin berbeza daripada abad-abad yang lalu. Ungkapan cinta mungkin digunakan untuk meluahkan perasaan seperti berikut:

1. Perasaan terhadap keluarga
2. Perasaan terhadap teman-teman, atau philia
3. Perasaan yang romantis atau juga disebut asmara
4. Perasaan yang hanya merupakan kemahuan, keinginan hawa nafsu atau cinta eros
5. Perasaan sesama atau juga disebut kasih sayang atau agape
6. Perasaan tentang atau terhadap dirinya sendiri, yang disebut narsisisme
7. Perasaan terhadap sebuah konsep tertentu
8. Perasaan terhadap negaranya atau patriotisme
9. Perasaan terhadap bangsa atau nasionalisme

Pengunaan perkataan cinta dalam masyarakat Indonesia dan Malaysia lebih dipengaruhi perkataan love dalam bahasa Inggeris. Love digunakan dalam semua amalan dan erti untuk eros, philia, agape dan storge. Namun demikian perkataan-perkataan yang lebih sesuai masih ditemui dalam bahasa serantau dan dijelaskan seperti berikut:

1. Cinta yang lebih cenderung kepada romantis, asmara dan hawa nafsu, eros
2. Sayang yang lebih cenderung kepada teman-teman dan keluarga, philia
3. Kasih yang lebih cenderung kepada keluarga dan Tuhan, agape
4. Semangat nusa yang lebih cenderung kepada patriotisme, nasionalisme dan narsisme, storge

[sunting] Etimologi

Beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia atau bahasa Melayu apabila dibandingkan dengan beberapa bahasa mutakhir di Eropa, terlihat lebih banyak kosakatanya dalam mengungkapkan konsep ini. Termasuk juga bahasa Yunani kuna, yang membedakan antara tiga atau lebih konsep: eros, philia, dan agape.

Cinta adalah perasaan simpati yang melibatkan emosi yang mendalam. Menurut Erich Fromm, ada empat syarat untuk mewujudkan cinta kasih, yaitu:

1. Pengenalan
2. Tanggung jawab
3. Perhatian
4. Saling menghormati

Erich Fromm dalam buku larisnya (the art of loving) menyatakan bahwa ke empat gejala: Care, Responsibility, Respect, Knowledge (CRRK), muncul semua secara seimbang dalam pribadi yang mencintai. Omong kosong jika seseorang mengatakan mencintai anak tetapi tak pernah mengasuh dan tak ada tanggungjawab pada si anak. Sementara tanggungjawab dan pengasuhan tanpa rasa hormat sesungguhnya & tanpa rasa ingin mengenal lebih dalam akan menjerumuskan para orang tua, guru, rohaniwan dll pada sikap otoriter.
[sunting] Jenis-jenis cinta

Seperti banyak jenis kekasih, ada banyak jenis cinta. Cinta berada di seluruh semua kebudayaan manusia. Oleh karena perbedaan kebudayaan ini, maka pendefinisian dari cinta pun sulit ditetapkan. Lihat hipotesis Sapir-Whorf.

Ekspresi cinta dapat termasuk cinta kepada 'jiwa' atau pikiran, cinta hukum dan organisasi, cinta badan, cinta alam, cinta makanan, cinta uang, cinta belajar, cinta kuasa, cinta keterkenalan, dll. Cinta lebih berarah ke konsep abstrak, lebih mudah dialami daripada dijelaskan.

Cinta kasih yang sudah ada perlu selalu dijaga agar dapat dipertahankan keindahannya
[sunting] Cinta antar pribadi

Cinta antar pribadi menunjuk kepada cinta antara manusia. Bentuk ini lebih dari sekedar rasa kesukaan terhadap orang lain. Cinta antar pribadi bisa mencakup hubungan kekasih, hubungan orangtua dengan anak, dan juga persahabatan yang sangat erat.

Beberapa unsur yang sering ada dalam cinta antar pribadi:

* Afeksi: menghargai orang lain.
* Altruisme: perhatian non-egois kepada orang lain (yang tentunya sangat jarang kita temui sekarang ini).
* Reciprocation: cinta yang saling menguntungkan (bukan saling memanfaatkan).
* Commitment: keinginan untuk mengabadikan cinta, tekad yang kuat dalam suatu hubungan.
* Keintiman emosional: berbagi emosi dan rasa.
* Kinship: ikatan keluarga.
* Passion: Hasrat dan atau nafsu seksual yang cenderung menggebu-gebu.
* Physical intimacy: berbagi kehidupan erat satu sama lain secara fisik, termasuk di dalamnya hubungan seksual.
* Self-interest: cinta yang mengharapkan imbalan pribadi, cenderung egois dan ada keinginan untuk memanfaatkan pasangan.
* Service: keinginan untuk membantu dan atau melayani.
* Homoseks: Cinta dan atau hasrat seksual pada orang yang berjenis kelamin sama, khususnya bagi pria. Bagi wanita biasa disebut Lesbian (lesbi).

Energi seksual dapat menjadi unsur paling penting dalam menentukan bentuk hubungan. Namun atraksi seksual sering menimbulkan sebuah ikatan baru, keinginan seksual dianggap tidak baik atau tidak sepantasnya dalam beberapa ikatan cinta. Dalam banyak agama dan sistem etik hal ini dianggap salah bila memiliki keinginan seksual kepada keluarga dekat, anak, atau diluar hubungan berkomitmen. Tetapi banyak cara untuk mengungkapkan rasa kasih sayang tanpa seks. Afeksi, keintiman emosi dan hobi yang sama sangat biasa dalam berteman dan saudara di seluruh manusia.

Kamis, 27 Januari 2011

Manusia Anjing

Tidak tebatas pada penggunaan kata/ ungkapan saja sebetulnya, tapi sudah menyatu dengan sikap keseharian. Sikap-sikap anjing, yang menunjukan sifat kebinatangan sudah menjadi sifat sebagian manusia. Sifat ini merambah ke semua stratifikasi sosial pendidikan manusia. Tidak terbatas pada orang yang tidak berpendidikan atau yang bependidikan rendah saja. Sikap-sikap anjing (anjing dalam bahasa sunda) sudah merambah pada wilayah institusi agama, mahasiswa, dosen, para pejabat, para petugas haji. Bahkan kalau kita dengar berita-berita di Televisi, sikap-sikap ini sudah merambah pada seorang bapak/ ayah, guru ngaji dan banyak lagi.
Sikap anjing yang saya maksud adalah kecenderungan penggunaan naluri kebinatangan yang berlebihan, kecenderungan mengukur kenikmatan atau kebahagiaan hanya dengan ukuran materi, kebahagiaan akan didapat apabila sejauh mana kita mencapai hal-hal yang kita inginkan secara kebendaan. Entah ini karena pengaruh budaya dan keilmuan Barat yang cenderung materialistik, mengukur segala sesuatu dengan ukuran kebendaan dan tampilan pisik, atau memang kurangnya benteng diri dengan sesuatu hal yang transenden, entahlah.
Innalillahi, saya mendengar bahwa penyelenggaraan haji yang merupakan “proyek” rukun islam justeru banyak terjadi penyimpangan khususnya dalam hal pinancial, keuangannya dikorupsi oleh (oknum) petugas. Ini menunjukan institusi yang berbau “proyek” keimanan pun telah tergadaikan dengan sesuatu yang materi. Institusi yang seharusnya memberikan uswah, ternyata sebaliknya. Innalillahi, saya pun mendengar banyak berita tentang pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang ayah tehadap anak kandungnya, seorang adik memerkosa kakak kandungnya, kakek-kakek memerkosa cucunya, bahkan seorang anakpun sudah tega menodai ibu kandungnya. Seorang Guru ngaji pun yang seharusnya membimbing muridnya secara moral, justeru “membimbing” muridnya untuk melakukan perbuatan tuna susila.
Para (oknum) mahasiswa pun menunjukan hal yang sama. Tidak sedikit yang terjaring kumpul kebo, kasus perkosaan, ayam kampus, bandar narkoba dan lain-lain. Bahkan kalau kita baca buku “Kuda Troya Komunisme”, gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan moral dan reformasi tahun 1998, justeru dilumuri dengan perbuatan asusila, Innalillahi. Betapa tidak, mahasiswa yang terkenal dengan jargon agen perubahan itu, ternyata tidak konsisten dengan jargonnya. Lebih parah adalah yang seharusnya membimbing dan memotivasi mahasiswa untuk menentukan masa depannya, justeru merusaknya, dengan “membimbing”nya ala “privat” gratis di kostan alias ngamar. Sungguh tidak pantas, apalagi dilakukan di sebuah Perguruan Tinggi Islam.

KLONING

Kloning manusia hanya membutuhkan pengambilan sel somatis (sel tubuh), bukan sel reproduktif (seperti sel telur atau sperma) dari seseorang, kemudian DNA dari sel itu diambil dan ditransfer ke dalam sel telur seseorang wanita yang belum dibuahi, yang sudah dihapus semua karakteristik genetisnya dengan cara membuang inti sel (yakni DNA) yang ada dalam sel telur itu. Kemudian, arus listrik dialirkan pada sel telur itu untuk mengelabuinya agar merasa telah dibuahi, sehingga ia mulai membelah. Sel yang sudah dibuahi ini kemudian ditanam ke dalam rahim seorang wanita yang ditugaskan sebagai ibu pengandung. Bayi yang dilahirkan secara genetis akan sama dengan genetika orang yang mendonorkan sel somatis tersebut.
Berikutnya, KH. Ali Yafie dan Dr. Armahaedi Mahzar (Indonesia), Abdul Aziz Sachedina dan Imam Mohamad Mardani (AS) juga mengharamkan, dengan alasan mengandung ancaman bagi kemanusiaan, meruntuhkan institusi perkawinan atau mengakibatkan hancurnya lembaga keluarga, merosotnya nilai manusia, menantang Tuhan, dengan bermain tuhan-tuhanan, kehancuran moral, budaya dan hukum.
Sedangkan ulama yang membolehkan melakukan kloning mengemukakan alasan sebagai berikut:
a)      Dalam Islam, kita selalu diajarkan untuk menggunakan akal dalam memahami agama.
b)      Islam menganjurkan agar kita menuntut ilmu (dalam hadits dinyatakan bahkan sampai ke negri Cina sekalipun).
c)      Islam menyampaikan bahwa Allah selalu mengajari dengan ilmu yang belum ia ketahui (lihat QS. 96/al-’Alaq).
d)     Allah menyatakan, bahwa manusia tidak akan menguasai ilmu tanpa seizin Allah (lihat ayat Kursi pada QS. 2/al-Baqarah: 255).
Dengan landasan yang demikian itu, seharusnya kita menyadari bahwa penemuan teknologi bayi tabung, rekayasa genetika, dan kemudian kloning adalah juga bagian dari takdir (kehendak) Ilahi, dan dikuasai manusia dengan seizin-Nya. Penolakan terhadap kemajuan teknologi itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Islam.
Untuk menentukan apakah syari’at membenarkan pengambilan manfaat terapeutik dari kloning manusia, kita harus mengevaluasi manfaat vis a vis mudharat dari praktek ini. Dengan berpijak pada kerangka pemikiran ini, maka manfaat dan mudharat terapeutik dari kloning manusia dapat diuraikan sebagai berikut:
  • Mengobati penyakit. Teknologi kloning kelak dapat membantu manusia dalam menentukan obat kanker, menghentikan serangan jantung, dan membuat tulang, lemak, jaringan penyambung atau tulang rawan yang cocok dengan tubuh pasien untuk tujuan bedah penyembuhan dan bedah kecantikan. Sekedar melakukan riset kloning manusia dalam rangka menemukan obat atau menyingkap misteri-misteri penyakit yang hingga kini dianggap tidak dapat disembuhkan adalah boleh, bahkan dapat dijustifikasikan pelaksanaan riset-riset seperti ini karena ada sebuah hadits yang menyebutkan: “Untuk setiap penyakit ada obatnya”. Namun, perlu ditegaskan bahwa pengujian tentang ada tidaknya penyakit keturunan pada janin-janin hasil kloning guna menghancurkan janin yang terdeteksi mengandung penyakit tesebut dapat melanggar hak hidup manusia.
  • Infertilitas. Kloning manusia memang dapat memecahkan problem ketidaksuburan, tetapi tidak boleh mengabaikan fakta bahwa Ian Wilmut, A.E. Schieneke, J. Mc. Whir, A.J. Kind, dan K.H.S. Campbell harus melakukan 277 kali percobaan sebelum akhirnya berhasil mengkloning “Dolly”. Kloning manusia tentu akan melewati prosedur yang jauh lebih rumit. Pada eksperimen awal untuk menghasilkan sebuah klon yang mampu bertahan hidup akan terjadi banyak sekali keguguran dan kematian. Lebih jauh, dari sekian banyak embrio yang dihasilkan hanya satu embrio, yang akhirnya ditanam ke rahim wanita pengandung sehingga embrio-embrio lainnya akan dibuang atau dihancurkan. Hal ini tentu akan menimbulkan problem serius, karena nenurut syari’at pengancuran embrio adalah sebuah kejahatan. Selain itu, teknologi kloning melanggar sunnatullah dalam proses normal penciptaan manusia, yaitu bereproduksi tanpa pasangan seks, dan hal ini akan meruntuhkan institusi perkawinan. Produksi manusia-manusia kloning juga sebagaimana dikemukakan di atas, akan berdampak negatif pada hukum waris Islam (al-mirâts).
  • Organ-organ untuk transplantasi. kemungkinan bahwa kelak manusia dapat mengganti jaringan tubuhnya yang terkena penyakit dengan jaringan tubuh embrio hasil kloning, atau mengganti organ tubuhnya yang rusak dengan organ tubuh manusia hasil kloning. Manipulasi teknologi untuk mengambil manfaat dari manusia hasil kloning ini dipandang sebagai kejahatan oleh hukum Islam, karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap hidup manusia. Namun, jika penumbuhan kembali organ tubuh manusia benar-benar dapat dilakukan, maka syari’at tidak dapat menolak pelaksanaan prosedur ini dalam rangka menumbuhkan kembali organ yang hilang dari tubuh seseorang, misalnya pada korban kecelakaan kerja di pertambangan atau kecelakaan-kecelakaan lainnya. Tetapi, akan muncul pertanyaan mengenai kebolehan menumbuhkan kembali organ tubuh seseorang yang dipotong akibat kejahatan yang pernah dilakukan.
  • Menghambat Proses Penuaan. sebuah optimisme bahwa kelak kita dapat menghambat proses penuaan berkat apa yang kita pelajari dari kloning.
  • Jual beli embrio dan sel. Sebuah riset bisa saja mucul untuk memperjual-belikan embrio dan sel-sel tubuh hasil kloning. Transaksi-transaksi semacam ini dianggap bâthil (tidak sah) berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a)      Seseorang tidak boleh memperdagangkan sesuatu yang bukan miliknya.
b)      Sebuah hadits menyatakan: “Di antara orang-orang yang akan dimintai pertanggungjawaban pada Hari Akhir adalah orang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasilnya”.
Dengan demikian, potensi keburukan yang terkandung dalam teknologi kloning manusia jauh lebih besar daripada kebaikan yang bisa diperoleh darinya, dan karenanya umat Islam tidak dibenarkan mengambil manfaat terapeutik dari kloning manusia.

Nikah Dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Dalam ranah hukum perkawinan, syarat dan rukunnya tidak boleh tertinggal, dalam arti pernikahan tidak akan sah apabila keduanya tidak ada atau tidak dilengkapi. Rukun merupakan sesuatu yang berada dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mengujudkannya. Sedangkan syarat merupakan sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya namun juga menentukan keberadaan sesuatu tersebut.
Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang termasuk rukun dan mana yang termasuk syarat terdapat perbedaan yang subtansial dikalangan para ulama. Perbedaan ini dikarena adanya cara pandang yang berbeda diantara mereka mengenai fokus  perkawinan.
Nah berdasarkan fungsi penting dari syarat dan rukun dalam menentukan sah tidaknya pernikahan, dan ada perbedaan-perbedaan perdapat dikalangan para ulama, maka kira sangat menarik melakukan pembahasan tentang itu guna memahami lebih dalam lagi tentang syarat dan rukun nikah serta perbedaan pendapat ulama yang ada didalamnya.

B.     Rumusan Masalah
Untuk memudahkan pembahasan dalam makalah ini, maka penulis merumus pembahasan sebagai berikut :
      1.            Apa definisi nikah dan apa dasar hukumnya?
      2.            Apa saja rukun nikah dan  bagaimana pendapat ulama?
      3.            Apa saja syarat nikah dan macam-macamnya?


BAB II
PEMBAHASAN

      1.            Definisi Nikah
Secara bahasa nikah berarti ضم ‘bergabung’ dan الجمع ‘berkumpul’ atau ibarat dari hubungan kelamin (وطء) dan akad (عقد) . Adapun menurut syara’ nikah berarti akad yang mengandung maksud membolehkan bersenang-senang dengan perempuan dan hubungan kelamin selagi perempuan itu bukan muhrimnya. Adapun dasar hukum diperbolehkannya nikah adalah sebagaimana firman Allah dalam surat Nisa’ ayat yaitu :
(#qßsÅ3R$$sù... $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
Artinya :
”Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”.  (Q.S Nisa’: 3)

      2.            Macam-Macam Rukun Nikah
Dalam mendefinisikan tentang makna rukun nikah terdapat beberapa ulama yang memiliki pendapat dan memaknaan yang berbeda, yaitu :
1)      Menurut ulama Hanafiyah Rukun adalah sesuatu yang menyebabkan adanya atau terwujudnya sesuatu. Dan menurut beliau, rukun merupakan bagian atau unsur dari sesuatu tersebut. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang menyebabkan terwujudnya sesuatu namun syarat tidak termasuk dalam bagian dari sesuatu tersebut atau sesuatu yang diluar sesuatu tersebut.
2)      Menurut jumhur ulama rukun adalah sesuatu yang menyebabkan berdirinya sesuatu dan adanya sesuatu tersebut. Sehingga sesuatu tersebut tidak akan terwujud tanpa keberadaan rukun. Namun menurut jumhur ulama rukun tidak harus merupakan bagian dari sesuatu tersebut. Sedangkan syarat menurut jumhur ulama adalah sama halnya dengan apa yang dinyatakan ulama Hanafiyah yaitu sesuatu yang menyebabkan terwujudnya sesuatu yang tidak termasuk dalam bagian dari sesuatu tersebut atau yang  berada diluar sesuatu tersebut.
Dalam hal perkawinan Ijab-Qabul adalah merupakan rukun nikah. Hal ini disepakati secara aklamasi oleh para ulama bahwa Ijab-Qabul adalan rukun nikah karena fungsinya sebagai alat untuk menghubungkan atau mengikat antara pihak-pihak yang melakukan perkawinan. Sedangkan ridlo (kerelaan) dari orang yang melakukan perkawinan adalah termasuk syarat.
Dalam menentukan rukun-rukun perkawinan terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Menurut ulama Hanafiyah rukun nikah hanyalah Ijab-Qabul atau Shighat hal ini karena ulama Hanafiyah melihat pernikahan itu dari segi ikatan yang berlaku pihak-pihak yang melangsungkan pernikahan. Berbeda dengan Hanafiyah menurut jumhur ulama rukun perikahan ada 4 (empat) macam yaitu :
a.    Shighat (ijab-qabul).
b.    Calon mempelai wanita
c.    Mempelai pria, dan
d.   Wali.
Menurut jumhur saksi dan mahar bukanlah rukun nikah melainkan hanya sebagai syarat nikah. Namun menurut sebagian fuqaha’ saksi dan mahar dimasukkan dalam ranah rukun nikah sehingga rukun nikah menurut mereka ada 6 (enam) macam.
Shigat pernikahan adalah suatu akad yang berlansung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul. Dimana menurut Hanafiyah ijab merupakan kata/ucapan pertama kali yang diucapkan oleh dua orang yang berkad, baik itu dari pihak pria maupun dari pihak wanita. Dan qabul adalah ucapan yang kedua untuk menanggapi ijab. Sedangkan menurut jumhur ijab adalah ucapan penyerahan dari wali pihak wanita atau wakilnya kepada pihak pria, sedangkan qabul adalah ucapan penerimaan dari pihak pria.


Selain hal diatas, terdapat beberapa hal penting yang perlu dibahas berkenaan dengan Sighat/akad pernikahan, antara lain :
1)      Lafadz Shighat/Akad Nikah
Mengenai lafadz-lafadz yag digunakan dalam shighat nikah terdapat 3 (tiga) penggolongan yaitu :
-          Lafadz yang Disepakati Sah Oleh para Ulama
lafadz shighat nikah yang sah menurut ulama adalah lafadz-lafadz yang menunjukkan arti nikah secara langsung seperti : أنكحت - زوّجت
-          Lafadz yang Disepakati Batal
lafadz yang disepakati batal oleh para ulama adalah lafadz-lafadz yang tidak menunjukkan nikah atau kepemilikan pada waktu itu seperti :  أوصيت, dan lafadz-lafadz yang tidak menunjukkan kepemilikan sama sekali seperti :  أعرت – أجرت
-          Lafadz yang Masih Ikhtilaf.
Lafadz-lafadz yang masih ikhtilaf (diperdebatkan) adalah lafadz-lafadz yang tidak menunjukkan arti pernikahan secara langsung akan tetapi lafadz-lafadz tersebut menunjukkan arti kepemilikan yang tetap. seperti  أعطيت – صدقت – بعت - وههبت  : , dalam hal ini menurut ulama haafiyah da Malikiyah memboleh meggunakan lafadz-lafadz tersebut degan syarat harus ada niat atau qarinah yag menunjukkan pernikahan seperti menjelaskan mahar didalamya, saksinya paham, dan sebagainya.
Sedangkan menurut Syafi’iyah dan hanabilah lafadz-lafadz tersebut tidak sah karena akad nikah harus menggunakan lafadz nikah ( لفظ الزواج).
-          Lafadz Selain Arab
Menurut jumhur ulama, akad dengan selain bahasa arab hukumnya adalah sah asalkan mengandung arti nikah. Hal ini sah baik bagi orang yang bisa berbahasa arab maupun tidak. Sedangkan menurut ulama hanabilah bagi orang yang bisa berbahasa dan berakad nikah dengan bahasa selain arab maka hukumnya batal, dalam hal ini ulama hanabilah menyamakannya dengan lafadz-lafadz disepakati batal diatas. Namun bagi yang memang tidak bisa bahasa arab maka hukumnya sah karena alasan rukhshah.

2)      Akad dengan Tulisan dan Isyarat
Apakah sah orang yang berakad nikah dengan menggunakan tulisan atau isyarat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka terdapat 3 pembagian yaitu :
-          Bisa bicara dalam keadaan hadir.
Apabila kedua mempelai hadir di majlis dan keduanya mampu berbicara maka ulama sepakat bahwa akad dengan tulisan dan isyarat tidak sah. Meskipun tulisannya jelas dan isyaratya bisa dipahami karena meyulitkan para saksi.
-          Bisa bicara dalam keadaaan ghaib.
Apabila kedua mempelai mampu berbicara namun salah satuya tidak hadir maka menurut Hanafiyah sah akad dengan tulisan/utusan tersebut dengan syarat harus disaksikan dua orang saksi karena pada dasarnya tulisan dari orang yang tidak hadir sama dengan khitabnya orang yang hadir. Sedangkan menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan hanabilah, akad semacam itu mutlak tidak sah. Karena tulisan itu hanya merupakan kinayah.
-          Orang Bisu
Jika orang bisu tersebut bisa menulis, menurut Syafi’iyah orang tersebut tetap boleh akad dengan isyarat karena dlorurat, sedangkan menurut Hanafiyah orang tersebut harus akad dengan menggunakan tulisan dan tidak boleh dengan isyarat. Karena menurutnya tulisan itu lebih utama daripada isyarat.
Namun jika orang bisu tersebut tidak bisa menulis maka seluruh ulama sepakat akad tersebut sah dengan catatan isyarat tersebut dapat dipahami dan dikenal secara umum.

      3.            Macam-Macam Syarat Nikah
Syarat adalah sesuatu yang menyebabkan terwujudnya sesuatu namun syarat tidak termasuk dalam bagian dari sesuatu tersebut atau sesuatu yang diluar hakikat sesuatu tersebut. Syarat dalam pernikahan dibedakan menjadi 4 (empat) macam, yaitu :
1)      Syarat In’iqad (شروط الإنعقاد) adalah syarat yang menentukan terlaksananya suatu akad pernikahan. Bila salah satu saja syarat ini tidak terpenuhi maka akad nikah batal. Contoh, orang yang berakad harus cakap hukum.
2)      Syarat Shihah (شروط الصحة) adalah syarat yang menentukan dalam pernikahan yang berkenaan dengan akibat hukum, dalam artian jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka menyebabkan tidak sahnya suatu pernikahan. Contoh, mahar dalam pernikahan, tidak sah pernikahan tanpa adanya mahar.
3)      Syarat Nifaadz (شروط النفاذ) adalah syarat yang menentukan kelangsungan suatu pernikahan, jika syarat ini tidak terpenuhi maka menyebabkan fasa­d-nya pernikahan. Contoh, wali nikah adalah orang yang berwenang untuk menikahkan.
4)      Syarat Luzum (شروط  اللزوم) adalah syarat yang menentukan kepastian suatu perkawinan dalam arti tergantung kepadanya kelanjutan berlangsungnya suatu perkawinan sehingga dengan telah terdapatnya syarat tersebut tidak mungkin perkawinan yang sudah berlangsung itu dibatalkan. Hal ini berarti selama syarat itu belum terpenuhi perkawinan dapat dibatalkan, seperti suami harus sekufu dengan istrinya.

      1.            Syarat In’iqad
Yang termasuk syarat-syarat in’iqad  adalah :
1)      Syarat-syarat bagi Pihak yang Berakad
Bagi dua orang yang berakad maka disyaratkan harus ahliyatul at-tasharruf dalam artian orang tersebut bisa melakukan akad sendiri maupun untuk orang lain. Dalam hal ini adalah orang yang sudah tamyiz, maka bila yang berakad itu anak kecil yang belum tamyiz maka akadnya batal.
Selain itu yang berakad juga disyaratkan mempunyai kemampuan untuk mendengar perkataan orang lain, baik secara hakiki maupun secara hukmi.
2)      Syarat-syarat Calon Istri
Persayaratan bagi seorang mempelai wanita adalah bahwa mempelai wanita tersebut haruslah wanita yang sebenarnya (tidak banci). Hal ini dikarenakan menikahi sesama jenis hukumnya adalah haram, sehingga akad yang dilakukan adalah batal.
Selain itu wanita yang akan dinikahi disyaratkan bukan wanita yang haram dinikahi, adapun wanita yang haram dinikahi seperti saudara perempuan, anak perempuan, bibi, dan sebagainya.
3)      Syarat-syarat Shighat
Shighat mempunyai beberapa syarat yang menentukan sah tidaknya shighat yang diucapkan, yaitu :
-       Shighat harus diucapkan dalam satu majelis, meskipun kedua mempelai hadir namun berbeda majelis maka shighatnya batal.
-       Kesesuain isi ijab dengan isi qabul dan harus cocok.
-       Shighat dilakukan seketika itu juga, dalam artian shighat harus bersambung dan tidak boleh pisah.
      2.            Syarat Shihah
1)      Calon mempelai wanita tidak haram dinikahi.
2)      Shighat tidak dibatasi oleh waktu tertentu
3)      Adanya saksi
4)      Ridlo atau atas kemauan sendiri tanpa adanya keterpaksaan
5)      Kedua mempelai jelas orangnya
6)      Tidak sedang melakukan ibadah ihram
7)      Adanya mahar
8)      Akad diketahui orang banyak (umum)
9)      Para pempelai tidak menderita sakit yang ditakuti
10)  Hadirnya wali

      3.            Syarat Nifaadz
1)      Para mempelai harus ahliyah, mampu melakukan akad/transaksi sendiri. Dalam hal ini maka para mempelali harus berakal, baligh dan merdeka.
2)      Calon suami haruslah orang yang sudah mengerti (pintar)
3)      Wali yang mengakadkan haruslah wali yang lebih dekat
4)      Seorang wakil tidak boleh menyalahi amanah yang diembannya
5)      Yang bertindak mengakadkan kedua mempelai adalah orang yang berwenang untuk itu.
      4.            Syarat Luzum
1)      Membayar mahar mitsil jika menikai wanita merdeka ketika tidak ada ridlo walinya.
2)      Mempelai pria harus kufuh dengan mempelai pria.
3)      Suami harus sehat, bebas dari cacat dan impotensi bila seorang istri tidak ridlo atas 2 hal tersebut.





BAB III
KESIMPULAN

Dalam pembahasan diatas, secara sederhana dapat disimpulkan sebagai berikut :
      1.            Nikah adalah akad yang mengandung maksud membolehkan bersenang-senang dengan perempuan dan hubungan kelamin selagi perempuan itu bukan muhrimnya. Adapun salah satu dasar hukumnya adalah QS Nisa’:3.
      2.            Dalam menentukan rukun nikah para ulama berbeda pendapat, yaitu :
1)      Menurut Hanafiyah rukun nikah hanyalah ijab-qabul
2)      Menurut jumhur rukun nikah adalah ijab-qabul, calon istri, calon suami dan wali.
3)      Sebagian ulama rukun nikah adalah ijab-qabul, calon istri, calon suami dan wali, saksi dan mahar.
      3.            Syarat-syarat dalam pernikahan terbagi menjadi 4 (empat) macam, yaitu :
a)      Syarat In’iqad (شروط الإنعقاد).
b)      Syarat Shihah (شروط الصحة).
c)      Syarat Nifaadz (شروط النفاذ).
d)     Syarat Luzum (شروط  اللزوم)