homepage

Kamis, 27 Januari 2011

Ta'dzim kepada yang dimuliakan Allah swt

PENDAHULUAN
Dalam madariju as Salikin Ibnu Qoyyim dengan jelas dan lugas memaparkan maqomat para sufi, dan telah kita pelajari bersama pada pembahasan telah lalu tentang tingkatan/manzilah dalam tasawuf, yaitu tingkatan-tingkatan bagi seorang salik yang igin mencari kebenaran yaitu tingkatan zuhud, wara’, tabattul, ikhlas dan lain sebagainya[1].
Pada kesempatan ini penulis mencoba menjelaskan sedikit tentang: TA’DHIM TERHADAP YANG DIMULYAKAN ALLAH Ikhlas Tahdzib dan Tashfiyah Istiqamah.
Semoga tulisan bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya, meskipun banyak sekali kekurangan yang harus diperbaiki..

TA’DHIM TERHADAP YANG DIMULYAKAN ALLAH
Allah befirman tentang tempat persinggahan ini,

y7Ï9ºsŒ `tBur öNÏjàyèムÏM»tBããm «!$# uqßgsù ׎öyz ¼ã&©! yYÏã ¾ÏmÎn/u 3 ôM¯=Ïmé&ur ãNà6s9 ãN»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4n=÷FムöNà6øn=tæ ( (#qç6Ï^tFô_$$sù š[ô_Íh9$# z`ÏB Ç`»rO÷rF{$# (#qç6Ï^tFô_$#ur š^öqs% Ír9$# ÇÌÉÈ  
" Dan, barangsiapa mengagungkan apa-apa yang dihormati di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya." (Al-Hajj: 30).
Di antara para mufassir ada yang mengatakan bahwa hurumatullah di sini adalah hal-hal yang  dimurkai dan dilarang Allah.[2] Sedangkan pengagungannya ialah dengan meninggalkannya. Menurut Al-Laits, hurumatullah adalah apa yang tidak boleh dilanggar. Ada pula yang berpendapat, artinya perintah dan larangan. Menurut Az-Zajjaj, hurumat artinya apa yang harus dilaksanakan dan tidak boleh diabaikan. Ada pula sego-longan ulama yang berpendapat, hurumat artinya manasik dan tempat-tempat syi'ar haji, baik waktu maupun tempat. Pengagungannya ialah dengan memenuhi haknya dan menjaga kelestariannya. Sedang Menurut Az-Zarij, Mujahid dan Zaid adalah makkah, haji dan umrah, serta menjauhi maksiat.[3]
Menurut Ibnu Qoyyim al-Jauzi, mengagungkan hurumatullah ini ada tiga derajat:
1. Mengagungkan perintah dan larangan, bukan karena takut kepada siksaan sehingga menjadi perlawanan bagi nafsu, bukan karena untuk mencari pahala sehingga pandangan hanya tertuju kepada imbalan, dan bukan karena menampakkan amal untuk riya', karena semua ini merupakan sifat penyembahan nafsu.
2. Menyampaikan pengabaran menurut zhahirnya, tidak membuat ka-jian yang menyimpang dari zhahirnya, tidak memaksakan ta'wil, tidak membuat perumpamaan dan perkiraan.
Pengarang Manazilus-Sa'irin mengisyaratkan hal ini kepada pemeliharaan kehormatan nash asma' dan sifat-sifat Allah, dengan menyampaikan pengabaran ini menurut zhahirnya dan menciptakan persepsi pemahaman yang sama di tengah umat.
3. Menjaga semangat agar tidak dikotori kelancangan, menjaga kegembiraan agar tidak dimasuki rasa aman, dan menjaga kesaksian agar tidak ditentang sebab.[4]

Ikhlas
Ikhlas berasal dari kata akhlasha yang merupakan bentuk kata kerja lampau transitif yang diambil dari kata kerja intransitif khalasha (خَلصَ) dengan menambahkan satu huruf ‘alif (أ). Bentuk mudhâri‘ (saat ini) dari akhlasha (اَخْلَصَ) adalah yukhlishu (يُخْلِصُ) dan bentuk mashdarnya yaitu ikhlash (إِخْلاص). Kata tersebut berarti, murni, bersih, jernih, tanpa campuran[5].
Lawan dari ikhlas dalah riya’ yaitu melakukan amal perbuatan dengan tujuan agar dilihat orang dan mengharapkan pujian atau balasan dari orang lain. Riya’ berasal dari kata ro’a (رَأى) yang berarti melihat, atau mengatur sesuatu agar dilihat orang.[6]
Ikhlas adalah melakukan amal perbuatan syariat yang ditujukan hanya kepada Allah secara murni atau tidak mengharapkan imbalan dari orang lain. Perbuatan ikhlas dibarengi pula dengan keyakinan atas perbuatannya dan tidak memiliki keinginan untuk menarik kembali apa yang telah ia lakukan.
Ikhlas. Yaitu kemurnian dan ketaatan yang ditujukan kepada Allah semata, dengan cara membersihkan perbuatan baik lahir maupun batin. Menurut al-Qurthubi dalam tafsirnya, ikhlas dikaitkan pada kondisi ibadah seseorang yang terhindar dari perbuatan penyekutuan Tuhan dengan sesuatu.al Qusyairi mengatakan dalam kitabnya RIsala Qusyairiyah, “ikhlas adalah penunggalan al-haqq dalam mengarahkan semua orientasi ketaatan. Dengan ketaatannya dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah semata, tanpa yang lain, tanpa dibuat-buat, tanpa ditujukan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia atau makna-makna lain selain pendekatan diri kepada Allah.” Bisa juga diartikan bahwa ikhlas merupakan penjernihan perbuatan  dari campuran semua makhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruh-pengaruh pribadi.
Dalam hadis qudsi disebutkan:
قال الله تعالى: الإخلاص سر من سرى استودعته قلب من أحببت من عبادى
Allah SWT berfirman: ikhlas adalah rahasia dari rahasia-Ku yang Aku titipkan pada hati orang yang Aku cintai di antara hamba-hamba-Ku.[7]
Ikhlas dibagi kedalam tiga tingkat;
1.      Tidak melihat amal sebagai amal, tidak mencari imbalan dari amal dan tidak puas terhadap amal.
Ada tiga macam penghalang dan perintang bagi orang yang beramal dalam amalnya: Pertama, pandangan dan perhatiannya. Kedua, keinginan akan imbalan dari amal itu. Ketiga, puas dan senang kepadan-ya. Yang bisa membersihkan hamba dari pandangan terhadap amalnya ialah mempersaksikan karunia dan taufik Allah kepadanya, bahwa amal itu datang dari Allah dan bukan dari dirinya, kehendak Allahlah yang membuat amalnya ada dan bukan kehendak dirinya, sebagai-mana firman-nya,
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# >u šúüÏJn=»yèø9$#
"Dan, kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam."[8]
2.      Malu terhadap amal sambil tetap berusaha, berusaha sekuat tenaga membenahi amal dengan tetap menjaga kesaksian, memelihara cahaya taufik yang dipancarkan Allah.
3.      Memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal, membiarkan amal berlalu berdasarkan ilmu, tunduk kepada hukum kehendak Allah dan membebaskannya dari sentuhan rupa.[9]
Allah telah befirman di dalam Al-Qur'an,
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$#
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) aga-ma dengan lurus." [10]

!$¯RÎ) !$uZø9tRr& šøs9Î) |=»tFÅ6ø9$# Èd,ysø9$$Î/ Ïç7ôã$$sù ©!$# $TÁÎ=øƒèC çm©9 šúïÏe$!$# ÇËÈ   Ÿwr& ¬! ß`ƒÏe$!$# ßÈÏ9$sƒø:$# 4
“Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.(3). Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).[11]

Ï%©!$# t,n=y{ |NöqyJø9$# no4quptø:$#ur öNä.uqè=ö7uÏ9 ö/ä3ƒr& ß`|¡ômr& WxuKtã
yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (Al-Mulk: 2).
Keutamaan ikhlas:
1. Pintu pertama kesuksesan di Akhirat
2. Menenangkan hati dari belenggu dunia
3. Keikhlasan akan menyelamatkan dari azab.[12]

Tahdzib dan Tashfiyah
Tahdzib dan tashfiyah ini artinya melebur ubudiyah dalam tungku ujian, untuk menghilangkan segala kotoran dan kerak yang ada di dalamnya.[13]
Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Tahdzib merupakan ujian bagi para pemula, yang merupakan salah satu aturan dalam riyadhah." Artinya, tahdzib ini cukup sulit bagi pemula, yang bisa diibaratkan ujian bagi-nya. Tapi tahdzib ini merupakan jalan bagi orang-orangyang sudah melatih dirinya, sehingga mereka sudah terbiasa dengannya. Menurutnya, tahdzib ini ada tiga derajat:
1. Mendidik pengabdian, tidak memenuhinya dengan kebodohan, tidak mencampurinya dengan kebiasaan dan tidak menghentikan hasrat.
Artinya, pengabdian harus dibersihkan dan dibebaskan dari tiga perkara ini: Memenuhinya dengan kebodohan, mencampurinya dengan ke biasaan dan menghentikan hasrat. Selagi kebodohan memenuhi ubudiyah, maka seorang hamba akan mendatangkan sesuatu yang tidak layak untuk didatangkan kepada ubudiyah, meletakkannya tidak pada tempatnya, mengerjakannya tidak seperti lazimnya, melakukan perbuatan-perbuatan yang diyakininya baik, padahal itu justru merusak pengadian dan ubudiyahnya. Jika pengabdian tidak disertai ilmu, maka ia akan menyimpang dari adab dan hak-haknya, yang justru bias menjauhkan pelakunya, sekalipun sebenarnya dia bermaksud mendekatkan dirinya. Kalaupun dia tetap mendapatkan pahala dan balasannya, tapi minimal akan menjauhkan dirinya dari kedudukan taqarrub.
2. Mendidik keadaan, yaitu tidak mencondongkan keadaan kepada ilmu, tidak tunduk kepada rupa dan tidak menengok ke bagian.
3. Mendidik tujuan, yaitu dengan membersihkannya dari kehinaan keterpaksaan, menjaganya dari penyakit loyo dan membantunya agar tidak terjebak dalam kontradiksi ilmu.[14]

Istiqamah
Allah befirman,
¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#qä9$s% $oYš/u ª!$# §NèO (#qßJ»s)tFó$# ãA¨t\tGs? ÞOÎgøŠn=tæ èpx6Í´¯»n=yJø9$# žwr& (#qèù$sƒrB Ÿwur (#qçRtøtrB (#rãÏ±÷0r&ur Ïp¨Ypgø:$$Î/ ÓÉL©9$# óOçFZä. šcrßtãqè? ÇÌÉÈ  
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Rabb kami adalah Allah', kemudian mereka istiqamah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikatakan turun kepada mereka (dengan mengatakan), Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa sedih, dan bergembiralah kalian dengan (memperoleh) surga yang telah dijanji-kan Allah kepada kalian'." (Fushshilat: 30).

¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qä9$s% $oYš/z ª!$# §NèO (#qßJ»s)tFó$# Ÿxsù ì$öqyz óOÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtøts ÇÊÌÈ   y7Í´¯»s9'ré& Ü=»ptõ¾r& Ïp¨Ypgø:$# tûïÏ$Î#»yz $pkŽÏù Lä!#ty_ $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÍÈ  

"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Rabb kami ialah Allah', kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan." (Al-Ahqaf: 13-14).

öNÉ)tGó$$sù !$yJx. |NöÏBé& `tBur z>$s? y7yètB Ÿwur (#öqtóôÜs? 4 ¼çm¯RÎ) $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ׎ÅÁt/ ÇÊÊËÈ  
"Maka tetaplah istiqamah kamu sebagaimana yang diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan." (Hud: 112).

Istiqomah ialah berarti melakukan suatu pekerjaan baik melalui prinsip kontinuitas dan keabadian. Dalam al-Quran terjemah departemen agama RI Istiqamah ialah teguh pendirian dalam tauhid dan tetap beramal yang saleh.
Istiqomah secara sederhana berarti berkesinambungan, berproses, terus-menerus tanpa henti. Barangsia istiqomah dalam tauhid, maka tidak ada kekhawatiran sedikit pun terhadap mereka:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qä9$s% $oYš/z ª!$# §NèO (#qßJ»s)tFó$# Ÿxsù ì$öqyz óOÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtøts ÇÊÌÈ  
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah. Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.[15]

Allah telah menjelaskan bahwa istiqamah merupakan kebalikan dari sikap yang melampaui batas. Abu Bakar Ash-Shiddiq, orang yang paling lurus dan jujur serta yang paling istiqamah dalam umat ini pernah dita-nya tentang makna istiqamah. Maka dia menjawab, "Artinya, janganlah engkau menyekutukan sesuatu pun dengan Allah." Maksudnya, istiqamah adalah berada dalam tauhid yang murni.
Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ada tiga derajat istiqamah, yaitu:
1. Istiqamah dalam usaha untuk melalui jalan tengah, tidak melampaui rancangan ilmu, tidak melanggar batasan ikhlas dan tidak menyalahi manhaj As-Sunnah. Derajat ini meliputi lima perkara:
- Amal dan usaha yang dimungkinkan.
- Jalan tengah, yaitu perilaku antara sisi berlebih-lebihan atau kesewenang-wenangan dan pengabaian atau penyia-nyiaan.
- Berada pada rancangan dan gambaran ilmu, tidak berada pada tuntutan keadaan.
- Kehendak untuk mengesakan sesembahan, yaitu ikhlas.
- Menempatkan amal pada perintah, atau mengikuti As-Sunnah.
2. Istiqamah keadaan, yaitu mempersaksikan hakikat dan bukan keberuntungan, menolak bualan dan bukan ilmu, berada pada cahaya kesadaran dan bukan mewaspadainya. Hakikat ini meliput hakikat Kauniyah dan hakikat Diniyyah.
3. Istiqamah dengan tidak melihat istiqamah, tidak lengah untuk mencari istiqamah dan keberadaannya pada kebenaran.[16]




DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahnya Departemen Agama RI. Syaamil Cipta Media
Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. (al maktabah as Syamilah) Juz5
Al Jauzi, Ibnu Qoyyim. Madarijus Salikin. Dar al Hadith. Kairo. 2003.
Munawwir, ahmad Warson. AL-MUNAWWIR Kamus Arab – Indonesia. Pustaka Progressif: Surabaya. 1997. edisi Kedua
Al-Azizy, TAufiqurrahman. Sukses dan bahagia dengan AURAT AL-INSYIRAAH bersama kesulitan pasti ada kemudahan. Yogyakarta: Sakanta Publisher. 2010.
Imam Ghozali, Mutiara ihya ulumuddin, 2008, Mizan Pustaka, Bandung.
Imam Ghozali.            Ihya’ Ulumuddin. Jilid II. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.Beirut.tt



[1] Lihat dalam kitab madarij al salikin karya ibnu qoyyim al jauzy.
[2] . Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. (al maktabah as Syamilah) Juz5. Hal.419
[3] . ibid.
[4] . Al Jauzi, Ibnu Qoyyim. Madarijus Salikin. Dar al Hadith. Kairo. 2003. Hal.63-74
[5] . Munawwir, ahmad Warson. AL-MUNAWWIR Kamus Arab – Indonesia. Pustaka Progressif: Surabaya. 1997. edisi Kedua
[6] ibid
[7] . seperti yang disebutkan al-Ghozali dalam Ihya ‘Ulumuddin. Akan tetapi hadis ini dho’if sebagaimana dalam silsilah al-dho’ifah li al-Bani juz2/630
[8] Surah At-Takkwir: 29
[9] Al Jauzi, Ibnu Qoyyim. Madarijus Salikin. Dar al Hadith. Kairo. 2003. Hal.
[10] Surah Al-Bayyinah: 5
[11] Surah Az-Zumar: 2-3
[13] Jauzi, Ibnu Qoyyim. Madarijus Salikin. Dar al Hadith. Kairo. 2003. Hal.82
[14] Jauzi, Ibnu Qoyyim. Madarijus Salikin. Dar al Hadith. Kairo. 2003. Hal.82-85
[15] Al-Azizy, TAufiqurrahman. Sukses dan bahagia dengan AURAT AL-INSYIRAAH bersama kesulitan pasti ada kemudahan. Yogyakarta: Sakanta Publisher. 2010. Hal. 170
[16] . Al Jauzi, Ibnu Qoyyim. Madarijus Salikin. Dar al Hadith. Kairo. 2003. Hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar