homepage

Kamis, 27 Januari 2011

Manzilah tawakal dalam kitab madarij al salikin

Pendahuluan
Dalam kitab Madarij al-Salikin karangan Ibnu Qoyyim al-Jauzy terdapat banyak sekali hikmah yang bisa kita petik dan kita pelajari sekaligus kita praktekkan dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai seorang murid yang belajar tentang kebenaran, dan telah kita pelajari bersama pada pembahasan telah lalu tentang tingkatan/manzilah dalam tasawuf, yaitu tingkatan-tingkatan bagi seorang salik yang ingin mencari kebenaran yaitu tingkatan zuhud, wara’, raja’, riayah, muraqabah, tabattul, ikhlas dan lain sebagainya[1].
Ibnu qoyyim al jauzy seorang sufi yang sangat kritis dalam mempelajari dan juga memahami keadaan jiwa seorang salik ketika mempelajari tasawuf, walaupun ilmu tasawuf itu sangatlah kental  dengan istilah-istilah yang berkonotasi mistik, akan tetapi ibnu qoyyim menulis kitab madarij as salikin ini dengan bahasa yang sangat bagus dan juga tidak kental dengan mistik, akan tetapi beliau lebih menonjolkan pada psiconya.
Sama seperti tingkatan-tingkatan sebelumnya, ibnu qoyyim al-Jauzi dalam penulisan kitab tasawufnya menggunakan konsep :  (إياك نعبد وإياك نستعين)  yaitu penyerahan diri kepada Allah Swt, dan dalam menghendaki tawakal kepada-Nya, sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam Islam[2].
Tawakal sangatlah diperhatikan dalam Islam. Oleh karena itu, banyak sekali ayat-ayat ataupun hadits-hadits yang memiliki muatan mengenai tawakal kepada Allah swt. Demikian juga para salafus shaleh, juga sangat memperhatikan masalah ini. Sehingga mereka memiliki ungkapan-ungkapan khusus mengenai tawakal. dan dalam makalah revisi ini akan di bahs tentang tingkatan tawakal seorang salik dalam tingkatan-tingkatan tasawufnya.


Makna Tawakal
Dari segi bahasa, tawakal berasal dari kata ‘tawakala’ yang memiliki arti; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan[3].Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah swt.
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghozali disebutkan bahwa tawakal bagaikan mayat didepan orang yang memandikan, di bolak-balikkan kekanan dan kekiri tanpa adanya perlawanan dan pasrah[4]. Ini berarti ketika kita bertawakkal itu seperti halnya mayat yang tidak bisa bergerak sama sekali, hanya rasa pasrah kepada yang memandikannya, tanpa adanya suatu perlawanan.
Didalam kitab Risalah Qusyairiyah juga disebutkan hal yang sama seperti perkataan Sahil bin Abdullah bahwa tingkatan pertama dalam tawakkal adalah bahwa hamba itu dihadapan allah swt seperti halnya mayit yang ada di hadapan orang yang memandikan, memutar balikkan mayat sesuka hatinya, karena mayit tidak bergerak[5].
Menurut Hamdun Al Qhasar mengatakan bahwa tawakal adalah tunduk kepada allah ta’ala[6], dan masih banyak lagi pendapat-pendapat tentang tawakal yang akan terlalu banyak untuk disebutkan dan cenderung bermuara sama, karena dalam beberapa pendapat akan lebih cenderung pada ketasawufan orang yang berpendapat.
Dalam makna tawakal secara istilah banyak ulama yang memberikan makna tersendiri tentang tawakal, akan tetapi kebanyakan dari pendapat-pendapat tersebut sama maksudnya, dibawah ini adalah beberapa pemaknaan tawakal menurut beberapa ulama:




a.       Ibnu Qoyim al-Jauzi
Dalam kitab Arruh fi Kalam ala Arwahil Amwat wal Ahya’ bidalail minal Kitab was Sunnah, Tawakal merupakan amalan dan penghambaan hati dengan menyandarkan segala sesuatu itu hanya kepada Allah swt semata, percaya terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala ‘kecukupan’ bagi dirinya…, dengan tetap melaksanakan ‘sebab-sebab’ serta usaha keras untuk dapat memperolehnya[7].
Dalam definisi ini dijelaskan bahwa ketika seorang salik itu telah mencapai tingkatan tawakal, dia tidak hanya langsung secara serta merta bertawakal atau menyerahkan diri kepada Allah begitu saja, akan tetapi telah melewati usaha yang keras, akan tetapi tetap Allah lah yang berkehendak dengan segala sesuatu, yang menentukan mana yang terbaik bagi manusia walaupun kadang apa yang Allah kehendaki tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Tawakal merupakan separuh dari agama  dan separuhnya lagi adalah inabah. Agama itu terdiri dari permohonan pertolongan dan ibadah, tawakal merupakan permohonan pertolongan sedangkan inabah adalah ibadah[8].
b.      Menurut Abu Abdullah Al Qursyi
Tawakal adalah bergantung segala sesuatu hanya kepada Allah swt, meninggalkan setiap sebab yang tidak bisa menghantarkan diri kepada yang haq atau kepada Allah swt[9].
c.       Menurut Imam Ahmad bin Hambal
Tawakal merupakan aktivitas hati, artinya tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan[10].
Dalam beberapa pendapat juga mengatakan tentang tawakal, yaitu menurut Sahil bin Abdullah bahwa tawakal merupakan kepasrahan kepada  Allah  dan menurut apapun yang di kehendakinya. Sedang menurut Yahya bin Muadz, beliau pernah ditanya “ kapankah seorang bisa di sebut orang yang bertawakal?”, maka beliau menjawab , “jika dia ridha kepada Allah sebagai wakilnya”[11].
Derajat Tawakal
            Dalam hal ini banyak sekali ulama-ulama yang berbeda pendapat tentang derajat-derajat tawakal, karena masing-masing dari mereka mengerti dengan sendirinya tentang apa yang mereka fahami dari yang mereka ketahui.
Menurut Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, "Tawakkal itu ada tiga derajat: Tawakkal itu sendiri, berserah diri, lalu pasrah. Orang yang tawakkal merasa tenang karena janji Allah, orang yang berserah diri cukup dengan pengetahuannya tentang Allah dan pasrah adalah ridha terhadap hukum-Nya. Tawakkal merupakan permulaan, berserah diri merupakan pertengahan dan pasrah merupakan penghabisan. Tawakkal merupakan sifat orang-orang Mukmin, berserah diri merupakan sifat para wali dan pasrah merupakan sifat muwahhidin. Tawakal merupakan sifat orang-orang awam, berserah diri merupakan sifat orang-orang khusus, dan pasrah merupakan sifat orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus. Tawakkal adalah sifat para nabi, berserah diri adalah sifat Ibrahim, sedangkan pasrah merupakan sifat Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam”[12].
Pada hakikatnya tawakkal ini merupakan keadaan yang terangkai dari berbagai perkara, yang hakikatnya tidak bisa sempurna kecuali dengan seluruh rangkaiannya. Masing-masing mengisyaratkan kepada salah satu dari perkara-perkara ini, dua atau lebih.
Perkara-perkara ini adalah[13]:
1.      Ma’rifatu Billah : yaitu Mengetahui Allah, sifat, kekuasaan, kecukupan, kesendirian dan kembalinya segala urusan kepada ilmu-Nya dan yang terjadi berkat kehendak dan kekuasaan-Nya. Ini merupakan derajat pertama yang menjadi pijakan kaki hamba saat berada di tempat persinggahan tawakkal.
2.      Itsbatu Fi Al Asbab Wa  Al Musabbabat : Menetapkan sebab dan akibat. Memiliki keyakinan akan keharusan melakukan usaha, Siapa yang meniadakan hal ini, berarti tawakkalnya ada yang tidak beres. Ini kebalikan dari pendapat yang mengatakan, bahwa menetapkan sebab bisa menodai tawakkal dan meniadakan sebab ini merupakan kesempumaan tawakkal. Ketahuilah bahwa tawakkalnya mereka yang meniadakan sebab tidak akan benar sama sekali.
3.       Rusukh Al Kolbi Fi Maqomi At Tauhid : Memantapkan hati pada pijakan tauhid. Tawakkal seorang hamba tidak dianggap benar jika tauhidnya tidak benar. Bahkan hakikat tawakkal adalah tauhidnya hati. Selagi di dalam hati masih ada kaitan-kaitan syirik, maka tawakkalnya cacat.
4.      I’timad Al Kolbi Ala Allah, Wa Istinadu Alaihi Wa Sukunu Ilaihi: Menyandarkan hati kepada Allah dan merasa tenang karena bergantung kepada-Nya, sehingga di dalam hati itu tidak ada kegelisahan karena godaan sebab dan tidak merasa tenang karena bergantung kepadanya.
5.      Husnu Al Dzon Billah : Berbaik sangka terhadap Allah swt. Seberapa jauh baik sangkamu terhadap Allah, maka sejauh itu pula tawakkalmu kepada-Nya.
6.      Istislam Al  Kolbi Lahu : Ketundukan dan kepasrahan hati kepada Allah serta memotong seluruh perintangnya. Seperti kebanyakan sufi yang mengatakan bahwa orang yag bertawakal di  hadapan allah itu seperti mayat yang pasarah pada yang memandikana, tiada daya kekuatan sama sekali.
7.      At Tafwidh : Pasrah. Ini merupakan ruh tawakkal, inti dan hakikatnya, yaitu menyerahkan semua urusannya kepada Allah, tanpa menuntut dan menentukan pilihan, bukan merasa dipaksa dan terpaksa. Ini merupakan puncak dari tawakal yang hanya dimiliki oleh nabi kita Muhammad saw. Karena tingkatan tawakal ini hanya beliau yang sampai kepadanya.

Itulah kesekian banyak derajat tawakal menurut Ibnu Qoyyim al Jauzy, walaupun beliau banyak mengartikan tingkatan-tingkatan derajat tawakal tersebut akan tetapi kesemuanya itu adalah satu kesatuan dari derajat tawakal, itu berarti beliau sanagtlah peka dan kritis dalam mengetahui kondisi kejiwaan seorang salik, seperti yang pak Kadir dalam beberapa pertemuan kajian kitab tasawuf ini, beliau mengatakan bahwa Ibnu Qoyyim al Jauzy sangatlah pandai dalam memahami  psycology manusia dalam tingkatan-tingkatannya, sehingga tawakal yang menjadi salah satu manzilah dalam tasawuf menjadi tujuh derajat yang membedakan seorang satu salik denagan salikin yang lainnya. Padahal beberapa sufi hanya membagi tingkatan tawakal menjadi tiga derajat seperti yang Abu Ali Ad-Daqqaq sebutkan. Begitu hebatnya beliau dalam mempelajari kejiwaan seseorang sehingga mampu membedakan derajatnya. akan tetapi yang paling penting dari semua itu adalah bahwa semuanya merupakan tawakal kepada Allah swt semata.
Tawakal Dalam Alqur’an[14]
Tawakal merupakan perintah allah swt seperti dalam surat al maidah ayat 23, ” dan hanya kepada allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman”.
Dalam surat al isra’ ayat 2 di sebutkan pelarangan bertawakal kepada selain allah swt, “dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku”.
Dalam surat Ali Imron ayat 122 di sebutkan bahwa orang yang bberiman hanya bertawakal pada allah swt,” dan hanya kepada Allahlah, hendaknya orang-orang mu’min bertawakal.
Dan juga masih banyak lagi ayat-ayat alqur’an yang berbicara tentang tawakal.

Tawakal Dalam Hadist[15]
Dari Abdullah bin Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda: Telah ditunjukkan kepadaku keadaan umat yang dahulu, hingga saya melihat seorang nabi dengan rombongan yang kecil, dan ada nabi yang mempunyai pengikut satu dua orang, bahkan ada nabi yang tidak ada pengikutnya. Mendadak melihat padaku rombongan yang besar (yang banyak sekali), saya kira itu adalah umatku, namun diberitahukan kepadaku bahwa itu adalah nabi Musa as beserta kaumnya. Kemudian dikatakan kepadaku, lihatlah ke ufuk kanan dan kirimu, tiba-tiba di sana saya melihat rombongan yang besar sekali. Lalu dikatakan kepadaku, Itulah umatmu, dan di samping mereka ada tujuh puluh ribu yang masuk surga tanpa perhingungan (hisab). Setelah itu nabi bangun dan masuk ke rumahnya, sehingga orang-orang banyak yang membicarakan mengenai orang-orang yang masuk surga tanpa hisab itu. Ada yang berpendapat; mungkin mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Ada pula yang berpendapat, mungkin mereka yang lahir dalam Islam dan tidak pernah mempersekutukan Allah, dan ada juga pendapat-pendapat lain yang mereka sebut. Kemudian Rasulullah SAW keluar menemui mereka dan bertanya, ‘apakah yang sedang kalian bicarakan?’. Mereka memberitahukan segala pembicaraan mereka. Beliau bersabda, ‘ Mereka tidak pernah menjampi atau dijampikan dan tidak suka menebak nasib dengan perantaraan burung, dan hanya kepada Rabb-nya lah, mereka bertawakal.” Lalu bangunlah Ukasyah bin Mihshan dan berkata, ‘Ya Rasulullah SAW doakanlah aku supaya masuk dalam golongan mereka.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Engkau termasuk golongan mereka.’ Kemudian berdiri pula orang lain, dan berkata, ‘doakan saja juga supaya Allah menjadikan saya salah satu dari mereka.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Engkau telah didahului oleh Ukasyah.” (HR. Bukhari & Muslim).
Tafwidh
            Dalam beberapa kitab tasawuf tidak disebutkan manzilah tafwidh secara tersendiri, inilah yang membedakan antara kitab tasawuf Ibnu Qoyyim al-Jauzy dengan kitab tasawuf yang lainnya. Pembahasan tentang tafwidh dalam kitab madarij al salikin lebih banyak dan terperinci.
            Tafwidh merupakan derajat paling tinggi diantara derajat-derajat tawakal yang disebutkan beberapa ulama sufi, terlebih oleh Ibnu Qoyyim al-Jauzy. Tafwidh adalah pasrah, dan mengandung isyarat yang lebih lembut dan maknanya lebih luas dari tawakal, sebab tawakal ada setelah sebab, sedangkan tafwidh sebelum ada sebab dan sesudahnya yaitu rasa tunduk dana pasrah kepada Allah swt[16].
            Dalam tafwidh Ibnu Qoyyim membaginya lagi menjadi tiga derajat dalam kitabnya Madarij Al Salikin, sebagai berikut[17]:
a.       Seorang hamba harus mengetahui bahwa dia tidak memiliki kesanggupan sebelum berbuat, tidak merasa aman dari tipu daya, tidak boleh putus asa dari pertolongan dan tidak mengandalkan niatnya.
Ini berarti seorang hamba haruslah yakin bahwa kesangggupannya berbuat adalah dari allah bukan dari dirinya sendiri. Jika allah tidak member kesanggupan berarti dia adalah orang yang lemah.
b.      Merasakan kegundahan, sehingga seorang hamba tidak melihat satu amal pun yang menyelamatkan, dosa yang merusak dan sebab yang diemban.
Artinya, seorang hamba harus melihat kefakiran dan kebutuhannya kepada Allah semata.
c.       Mempersaksikan kesendirian Allah yang menguasai gerak dan diam, yang menahan dan membentangkan, mengetahui perbuatan Allah terhadap hamba dan perbuatan Allah yang dinisbatkan kepada Diri-Nya sendiri.
Derajat ini berkaitan dengan kesaksian terhadap sifat-sifat Allah dan keadaan-Nya. Derajat pertama dan kedua berkaitan dengan kesaksian terhadap keadaan hamba dan sifat-sifatnya. Artinya mempersaksikan gerak dan diamnya alam, yang semuanya berasal dari Allah.

Penutup
            Tawakal merupakan perintah allah dan juga sunah Rasulullah saw, jika dilakukan dengan baik dan benar maka insyaallah tidak akn menjadikan seorang hamba hina dan tidak memiliki apa-apa, karena tawakal tidak identik dengan kepasrahan yang tidak beralasan. namun tawakal harus terlebih dahulu didahului dengan adanya usaha yang maksimal, karena hilangnya usaha itu berarti hilangnya hakikat dari tawakal itu. Ta.wakalpun tidak akan memiliki makna jika meniadakan usaha yang seharusnya dilakukan sebelum kita memasrahkan semuanya kepada Allah swt, karena tawakal hanya dilakukan setelah kita berusaha dengan keras
            Oleh karena itu, marilah kita meningkatkan rasa tawakal kepada Allah dengan memperbanyak unsur-unsur yang merupakan derajat dalam ketawakalan kedalam diri kita, sehingga kitapun dapat masuk kepada surga Allah tanpa adanya hisab. Amin.




Daftar Pustaka
Al-ghozali. Ihya’ ulumuddin . jilid IV. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.Beirut.tt
Al-ghozali. Mutiara Ihya’ ulumuddin. 2008. Bandung:Mizan Pustaka
Al-Jauzi, Ibnu Qoyyim. Madarij al Salikin,2003, Dar-Hadis, Kairo, juz II
Mahmud, Abdul Halim. Tasawuf di Dunia Islam,2002, Pustaka Setia, Bandung
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir, ,1997, Pustaka Progresif, Surabaya
Qosim, Abu. Al-Risalah Al-Qusyairiyah Fi Ulum Al Tasawuf. Dar al-Khoir.tt
Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya  dalam Islam. Yogyakarta:
http://www.dakwatuna.com/2007/8-ibadah-di-bulan-dzulhijjah/
http://pesantrenummul.sch.id/component/content/article/19-tafsir-hadist/15-makna-tawakal.html.




[1] Lihat dalam kitab Madarij Al Salikin karya Ibnu Qoyyim al Jauzy.
[2]Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di Dunia Islam,2002, Pustaka Setia, Bandung, hal 75.
[3]Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, ,1997, Pustaka Progresif, Surabaya.
[4] Al-ghozali. Ihya’ ulumuddin . jilid IV. Hal. 229. Baca juga Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya  dalam Islam. Yogyakarta. Hal. 66-67.
[5] Abu Qosim. Risalah Qusyairiyah, hal. 163.
[6] Ibid.
[7] http://www.dakwatuna.com/2007/8-ibadah-di-bulan-dzulhijjah/di akses pada tanggal 06 januari 2011. Karena penulis tidak menemukan kitab tersebut
[8] Ibnu qoyyim al-Jauzi,Madarijis Salikin,2003, Dar-Hadis, Kairo, juz II. Hal 95.
[9] Abu Qosim. Risalah Qusyairiyah. hal 165.
[10] Ibnu qoyyim al-Jauzi,Madarijis Salikin,2003, Dar-Hadis, Kairo, juz II. Hal 96. baca juga Abu Qosim.Risalah Qusyairiyah. hal 163.
[11] ibid 96.
[12] Ibnu Qoyyim al-Jauzi,Madarijis Salikin,2003, Dar-Hadis, Kairo, juz II. Hal 97
[13] Ibnu Qoyyim al-Jauzi,Madarijis Salikin,2003, Dar-Hadis, Kairo, juz II. Hal 98-102.
[14] Ibnu Qoyyim al-Jauzi,Madarijis Salikin,2003, Dar-Hadis, Kairo, juz II. Hal. 94
[15] http://pesantrenummul.sch.id/component/content/article/19-tafsir-hadist/15-makna-tawakal.html. diakses pada tanggal 06 januari 2011.
[16] Ibnu Qoyyim al-Jauzi,Madarijis Salikin,2003, Dar-Hadis, Kairo, juz II. Hal.116.
[17] Ibid 117.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar