homepage

Jumat, 11 Februari 2011

MANUSIA DALAM PANDANGAN AL GHOZALI

Riwayat Hidup Al-Ghazali
Al-Ghazali  lahir pada 450 H/1058 M di Tus, salah satu kota di Khurasan yang pada saat itu dipenuhi oleh beberapa paham keagamaan. Meskipun kota ini mayoritas dihuni oleh kalangan muslim Sunni, namun juga banyak komunitas Kristen dan muslim Syi’ah. Al-Ghazali terdidik dalam lingkungan muslim yang taat beribadah kepada Allah. Ayahnya tergolong orang yang hidup sederhana, dan ia sangat dekat sekali dengan para ulama’ saat itu. Ia sangat mengharap putranya menjadi ulama’ yang selalu mengabdikan dirinya pada umat. Dalam keluarganya, Al-Ghazali mendapat didikan langsung dari orang tuanya.
Setelah ayahnya meninggal dunia, ia dititipkan bersama saudaranya, Ahmad Al-Ghazali, pada salah satu teman ayahnya, seorang sufi yang juga hidup sederhana di kota Thus. Keluarga ini menjadi rumah kedua setelah ia meninggalkan rumahnya. Di rumah ini Al-Ghazali menetap hingga berumur lima belas tahun (450-465 H). Setelah sekian lama seorang sufi itu mendidik Al-Ghazali, ia merasa tidak mampu membiayai kehidupan rumah tangganya lagi. Ia menganjurkan Al-Ghazali untuk melanjutkan pendidikannya di sekolah. Dari sana Al-Ghazali belajar fiqh kepada Ahmad Al-Radzkani di Thus pada tahun 465-470 H. Pada tahun 473 H ia pergi ke Naisabur untuk menimba ilmu kepada Al-Juwaini di Madrsah Al-Nizhamiyah. Dari Al-Juwaini ia memperoleh ilmu Kalam, filsafat dan Mantiq. Kecerdasan Al-Ghazali membuat iri teman-temannya, bahkan gurunya, Al-Juwaini. Saat itu, terlihat kecerdasan Al-Ghazali setelah belajar kepada Al-Juwaini.   Setelah ia belajar beberapa ilmu yang berbeda—terutama ilmu filsafat dan mantiq yang diperoleh dari al-Juwaini—ia terlihat sangat rasional dan tertarik untuk mendalaminya.
Setelah al-Juwaini wafat (478 H), ia meninggalkan kota Naisabur dan menuju Wazir Nizam Al-Mulk di Mu’askar.  Disana ia disambut hormat oleh wazir. Ia tinggal  bersama istri dan tiga anaknya selama enam tahun (478-484 H).  Ada tiga kegiatan pokok yang dijalani Al-Ghazali saat tinggal bersama wazir. Pertama, diskusi ilmiah. Kedua, berpikir dan berkontemplasi dengan pikiran skeptik. Ketiga, mengkaji dan mengarang kitab tentang ilmu kalam.  Karena ia tidak puas dengan ilmu kalam, ia mendalami filsafat untuk mencari ilmu yakini. Saat itu Al-Ghazali menjadi rektor Nizamiyah di Baghdad.
Setelah memperhatikan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki, ia merasa pengetahuan itu tidak sampai pada tinggkat kebenaran dan keyakinan. Dalam kebenaran inderawi, ia sangat menyangsikan. Terbukti ketika melihat ke langit, seolah tidak ada benda langit apapun. Padahal dengan akal, di langit ada benda-benda yang dengan indera tidak bisa dilihat.   dengan akalpun ia juga tidak bisa mencari ilmu yakini. Karena dengan akal, menurutnya, masih banyak hal-hal yang diperdebatkan. Menurutnya, hakikat tuhan tidak bisa diukur dengan logika dan metafisika. Al-Ghazali menilai, Pada ilmu kalam, ia menilai kemandulan metodologinya. Ilmu kalam,menurutnya tidak bisa mencari ilmu hakikat. Tidak cukup hanya dengan akal semata seseorang akan menemukan hakikat. Pada akhirnya, Al-Ghazali mengalihkan perhatian kepada ilmu tasawuf untuk menemukan ilmu yakini.
Kecenderungan Al-Ghazali kepada ilmu tasawuf memberikan dua pilihan bagi dirinya. Pertama, jika ia memasuki alam tasawuf ia harus meninggalkan kedudukan dan fasilitas hidupnya. Kedua, ia tidak memasuki alam tasawuf dangan konsekuensi ia tetap dalam keadaan bingung.  Dalam bebarapa literatur mengenai dirinya, diceritakan bahwa Al-Ghazali sakit parah selama enam bulan hingga ia tidak bisa berbicara. Ia berhenti mengajar, bahkan ia berhenti makan dan minum. Para dokter sudah angkat tangan menolongnya, karena yang ia alami adalah penyakit psikologis. Dengan beberapa pilihan, ia memutuskan keluar dari istana dan menggantikan jabatannya kepada saudaranya, Ahmad. Seluruh kekayaannya ia nafkahkan. Ia melepaskan segala kehidupannya dengan alasan akan menjalani suluk yang diajarkan dalam tasawuf selama sebelas tahun sejak 488 H. sampai 499 H.   
Setelah keluar dari Baghdad, ia menuju Syam dan menetap disana selama dua tahun. Kegiatan sehari-harinya tidak ada lain kecuali uzlah, khalwat, riyadah, mujahadah, membersihkan hati, mendidik akhlaq dan berdzikir kepada Allah.   lalu ia menuju ke Makkah untuk haji, ke Palestina, Hijaz dan kembali lagi ke tanah air. Totalitas dari perjalanan suluk Al-Ghazali adalah sebelas tahun lamanya. 
Dalam pengakuannya, dalam tasawuf ia mendapatkan langsung tentang hakikat. Sufilah yang paling dekat dengan Allah. Dan hati merekalah yang paling bersih.  Ketika ia menguji tasawuf, ia tidak mempersoalkan validitas kebenaran yang ia peroleh. Karena ia meyakini ada intuisi yang lebih tinggi dari akal. Ketika ia mengalami kesangsian atas kebenaran indera dan akal, jawaban tersebut hanya kembali kepada Allah dengan jalan sufinya.
Dalam perjalanan sufinya ini Al-Ghazali banyak menyusun beberapa kitab. Seperti Ar-Risalah Al-Qudsiyah, Ihya’ Ulumiddin, Kimiya’ As-Sa’adah, Al-Maqsad Al-Asba Fi Ma’ani Asma’ Allah Al-Husna, Al-Madnunu Bihi ‘Ala Ghairi Ahlihi, dan sebagainya.
Setelah tuntas menjalani fase uzlah, Al-Ghazali kembali ke Naisabur kedua kalinya. Merasa kondisi disana tidak kondusif, ia pulang ke kampung halamannya dan mendirikan madrasah dan hanaqoh untuk kaum sufi. Dalam fase ini, ia juga banyak mengarang kitab dalam berbagai bidang keilmuan, baik dalam politik, logika, tasawuf, filasafat, ushul fiqh dan lainnya.  Hingga ia wafat pada pada 18 desember 1111 M di kampung halamannya sendiri.

Manusia Menurut Al-Ghazali

a.    Jiwa Dalam Pandangan Al-Ghazali
Dalam sebuah pemikiran, seseorang tidak akan lepas dari wacana yang berkembang sebelumnya. Begitu juga dengan Al-Ghazali. Walaupun ia menentang para filosof, ia juga banyak mengambil pandangan-pandangan dari filosof sebelumnya. Hal ini terlihat dalam pembahasan mengenai manusia. Ia membagi jiwa manusia tidak berbeda dengan pembagian yang ada pada Ibnu Sina. Ia membagi jiwa ke dalam tiga bagian; Pertama, jiwa vegetatif (Al-Nafs An-Nabatiyah). Kedua, jiwa sensitif (Al-Nafs Al-Hayawaniyah). Ketiga, jiwa manusia (Al-Nafs Al-Insaniyyah).    Hal ini tidak berbeda dengan pembagian jiwa menurut ibnu Sina yang berpangkal pada Aristoteles.
Selain Ibnu Sina dan para filosof Islam sebelum Al-Ghazali, ia juga dipengaruhi dalam Tasawuf oleh Abu Thalib Al-Makki, Al-Junaid Al-Bagdadi, Al-Syibli, Abu Yazid Al-Bustami, Dan Al-Muhasibi.  Pandangan tasawuf yang paling nampak dari Al-Ghazali adalah penempatan dzauq (intuisi) di atas akal yang diikuti oleh sikap Al-Faqr (kemiskinan), al-ju’ (lapar), al-khumul (lemah, lesu) dan Tawakkal (pasrah diri).
Untuk memperbaiki jiwa, Al-Ghazali menganjurkan untuk ber-muhasabah al-nafs (koreksi diri) dan mencari kesalahan dirinya sebelum tidur malam (taubikh al-nafs). Meskipun koreksi diri dan mencari kejelekan diri telah diteorisasikan oleh Al-Ghazali, namun konsep tersebut terlihat sama dengan konsep pythagorenisme dan hermetisme.  menurut Ibnu Arabi (w 638 H) yang dikutip oleh Ibnu Taimiyah (w 728 H)” Abu Hamid masuk ke tengah-tengah filosof, kemudian ia berusaha keluar, tetapi tidak berhasil.”

b.    Hakikat Manusia Dalam Pandangan Al-Ghazali
Sebelum memahami hakikat manusia, perlu kiranya mendefinisikan manusia sebagai objek dalam pembahasan ini. Manusia dalam ilmu mantiq disebut dengan “hayawanun natiq (hewan yang memiliki akal)”. Yang membedakan manusia dengan hewan lain adalah akal yang dimilikinya. Dengan akal, ia akan sampai kepada kebenaran. Manusia akan menggunakan akalnya semasa hidupnya.  Walaupun dengan akalnya manusia terkadang melakukan kesalahan.
Pemikiran Al-Ghazali tentang manusia tidak terlepas pula dengan pemikiran-pemikiran filosof klasik. Menurutnya, manusia memiliki identitas esensial dalam dirinya yang tidak akan berubah-ubah, yaitu An-Nafs (jiwa). An-nafs dalam pandangan Al-Ghazali adalah substansi manusia yang berdiri sendiri dan tidak membutuhkan tempat.   ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukanlah dilihat dari fisiknya. Sebab fisik tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa An-Nafs.
Dengan demikian, Al-Ghazali membuktikan adanya substansi immaterial yang disebut dengan an-nafs. Persoalan tentang ganjaran, hari akhir, dan konsep kenabian tidak ada artinya jika An-Nafs tidak ada. Sebab, hanya an-nafs-lah yang membedakan manusia dengan manusia lainnya, dan yang mempertanggung jawabkan amal perbuatannya didunia kelak di akhirat adalah an-nafs. Bukan fisik. Bukti lain yang ia lontarkan adalah tentang perbedaan makhluk hidup dangan manusia. Tumbuhan hanya bisa bergerak monoton. Ini merupakan prinsip dasar tumbuhan (An-Nafs Al-Nabatiyah). Juga terdapat pada hewan. Hewan memiliki prinsip lebih tinggi dari tumbuhan. Selain memiliki prinsip gerak, hewan juga memiliki prinsip rasa (syu’ur). Prinsip ini disebut dengan prisip Al-Nafs Al-Hayawaniyah. Begitupun dengan manusia, selain memiliki prinsip gerak dan rasa, manusia juga memiliki prinsip berfikir dan memiliki kehendak dalam memilih perbuatan. Prinsip ini yang dinamakan dengan Al-Nafs Al-Insaniyah.   Ketika seseorang dalam keadaan hampa aktifitas dan menghentikan segala aktifitasnya, ada satu yang tidak akan pernah berhenti, yaitu kesadaran diri. Kesadaran diri ini merupakan prinsip dasar manusia.
***

Struktur Manusia
Dalam diri manusia, Al-Ghazali membagi tiga bagian. Pertama, An-Nafs sebagai substansi manusia tidak bertempat dan berdiri sendiri. Kedua, Ar-Ruh sebagai panas alami (Al-Hararah Al-Ghariziyyah) yang mengalir pada pembulu-pembulu nadi, otot-otot dan syaraf. Sedangkan—Kedua—Al-Jism adalah bagian tubuh yang tersusun dari materi.   namun, dalam pandangan Al-Ghazali, Al-Nafs tetap menjadi esensi manusia, bukan Al-Ruh. Karena Al-Ruh juga ada pada selain manusia. Al-ruh menyatu dengan Al-Jism, seakan ia mengalir dalam aliran-aliran darah pada Jism. Oleh karena itu Al-Jism tanpa Al-Ruh dan Al-Nafs adalah benda mati.
    Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab yang lalu, bahwa dalam diri manusia terdapat jiwa An-Nabatiyah, jiwa An-Hayawaniyah dan jiwa Al-Insaniyyah. Dalam jiwa An-Nabatiyah yang ada dalam diri manusia memiliki tiga daya. Pertama, memiliki daya nutrisi (Al-Ghadiyah). Kedua, daya tumbuh (Munmiyat). Dan Ketiga, jiwa reproduksi (Al-Mutawallidah). Dengan jiwa ini, badan manusia berpotensi makan, tumbuh, dan berkembang.
Dalam jiwa sensitif (An-Nafs Al-Hayawaniyah) terdapat daya pesepsi (An-Nafs Al-Mudrikah), dan daya persepsi terdiri atas daya pendorong (Al-Ba’itsah) dan daya berbuat (Al-Fa’il). Dalam hal ini Al-Ghazali menyebut yang pertama adalah Irodah dan yang kedua qudrah.  Tentunya dalam daya iradah tidak secara spontanitas seseorang akan mengerjakan sesuatu. Namun disana ada informasi yang ingin ia capai.
Daya persepsi terdiri atas daya tangkap dari luar (Mudrikat Min Dhahir), dan daya tangkap dari dalam (Mudrikat Min dhakhil). Daya persepsi dari luar dengan menggunakan daya tangkap panca indera. Masing-masing panca indera menangkap informasi-informasi. Informasi yang ditangkap oleh panca indera kemudian diolah oleh daya tangkap dari dalam, dan sewaktu-waktu akan direproduksi jika dibutuhkan.
Daya tangkap dari dalam memiliki lima bagian dalam pengelolahannya. Pertama, Al-Hiss Al-Musytarak. Kedua, Al-Khayaliyah.  Ketiga, Al-Wahmiyah. Keempat. Al-dzakirah. Kelima, Al-Mutakhoyyilah. Al-Hiss Al-Musytarak berfungsi menerima gambar-gambar dari objek yang ditangkap panca indera, dan Al-Khoyaliyah menyimpan gambar yang dicerna oleh Al-Hiss Al-Mustadrak. Langkah selanjutnya yang dicerna adalah makna dari yang dipandang. Hal ini yang dinamakan oleh daya Al-Wahmiyah. Makna yang ditangkap oleh Al-Wahmiyah kemudian disimpan oleh Ad-Dzakirah. Daya tertinggi adalah Al-Mutakhalliyah atau Al-Mufakkirah. Daya ini memisah dan menghubungkan gambar atau benda yang dilihat.
Daya-daya di atas masih belum merupakan daya yang dimiliki oleh manusia. Pada tahap ini manusia dianggap sama dengan hewan.  Yang membedakan adalah keterbukaan jiwa Al-Mutakhoyyilah kepada jiwa rasional yang dimiliki oleh manusia. Sehingga jiwa al-mutakhoyyilah pada manusia menjadi jiwa Al-Mufakkiroh. Ada  hubungan erat antara jiwa manusia dengan jiwa Al-Mufakkirah. Sedangakan jiwa al-mutakhaiyyilah yang ada pada hewan adalah tertutup. Akibatnya, aktifitas hewan monoton.
Jiwa rasional memiliki dua daya. Al-‘amilat (Praktis) dan Al-‘Alimat (teoritis). Yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui daya-daya jiwa sensitif sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh teoritis. Jiwa teoritis menyampaikan gagasan-gagasan teori kepada akal praktis.   akal teoriris memiliki empat kemampuan. Pertama, al-hayulani (Akal Material). Kedua, al-‘aql bil malakat (Habitual Intellect). Ketiga, al-‘aql bi al-af’al (Akal Aktual). Keempat, Al-Aql Al Mustafad (akal perolehan). Akal Al-Hayulani tingkat akal yang paling rendah dan masih bersifat potensi belaka. Seperti akal pada anak kecil, walau memiliki potensi namun tidak dapat berkembang. Jika akal tersebut mulai berkebang dan menemukan titik kebenaran maka akal tersebut dinamakan dengan ‘Aql Bi Al-Malakat. Ketika akal lebih berkembang lagi dengan metode silogisme atau kerja akal lebih rasional lagi maka akal ini dinamakan dengan ‘Aql Bi Al-‘Af’al.
Tingkat akal yang lebih tinggi disebut Al-‘Aql Al-Mustafad. Yang dimaksud dengan akal mustafad adalah tingkat kemampuan intelek yang didalamnya selalu hadir pengetahuan-pengetahuan intelektual. Akal ini diperoleh dengan tanpa usaha seperti akal-akal sebelumnya. Akal sebelumnya bersidat aktif menciptakan pengetahuan, namun akal mustafad adalah akal pasif, tatapi pengetahuan-pengetahuan itu selalu hadir denga tanpa berfikir seperti akal-akal sebelumnya. Akal ini hanya dimiliki oleh beberapa orang khusus saja.   

Pengetahuan dalam pandangan Al-Ghazali.
Dalam pandangan Al-Ghazali, pengetahuan (baca: Abstraksi) didapat dengan empat tahapan. Pertama, dengan panca indera (Al-Hissiyah). Panca indera merupakan instrument yang paling rendah untuk mengabstraksikan sesuatu. Kedua, imajinasi (Al-Khayal). Pada tahap imajinasi ini dapat menangkap gambar dari objek tertentu dengan tanpa melihat. Tetapi tangkapannya masih meliputi aksiden-aksiden dan atribut-atribut. Ketiga, Praduga (Al-Wahm). Yang ditangkap oleh Al-Wahm adalah makna abstrak dari objek tertentu. Keempat, Al-Tajrid Al-Kamal (abstraksi yang sempurna). Dengan kata lain, pada tahap keempat ini juga bisa disebut dengan akal. Pada tahap ini, akal sudah melepaskan dari materi dan atribut-atribut dari suatu benda.    
Untuk mendapatkan gambaran atau abstraksi dari objek tertentu, akal membutuhkan tashawwur untuk membuktikannya. Pengetahuan yang dihasilkan oleh akal dengan proses tasawwur juga belum terssusun secara konseptual. Ia membutukan argumentasi (hujjah) untuk meyakinkan (Tasdiq) subjek. Hujjah dapat berbentuk silogisme (Al-Qiyas), analogi (Al-Tamtsil), dan induksi (Istiqra’).  Yang dimaksud dengan silogisme adalah proses penyimpulan dari yang umum kepada yang khusus, sedangkan istiqro’ adalah proses penyimpulan dari yang khusus kepada yang umum. Dan yang dimaksud dengan analogi adalah mencari persamaan sesuatu yang ingin diketahui dengan sesuatu yang sudah diketahui. 
Namun, dengan proses tersebut, akal tidak luput dari kesalahan. Namun kesalahan yang terdapat pada akal bukan murni dari akal, melainkan dari sesuatu yang ada diluar dari akal. Sesuatu tersebut adalah (pertama) indera (Al-Hissi) dan (kedua) praduga (Al-Wahm). Kesalahan pada Al-Hissi adalah terdapat pada keterbatasan indera dalam mencerna. Misalnya, bintang di langit akan terlihat (baca: terindra) kecil, padahal sebenarnya bintang itu lebih besar dari pada bumi. Dan pada Al-Wahm adalah keterbatasanya dalam menangkap makna baik di luar atau di dalam dirinya. 
Akal dalam pandangan Al-Ghazali dapat dimasuki dengan kebenaran dan kesalahan. Oleh karenanya, syara’ atau syariat sebagai tolak ukur apakah hal itu benar atau salah. Keberadaan akal dalam syara’ begitu penting. Sebab syara’ tidak dapat difahami tanpa akal. Dari sini, antara syara’ dan akal harus dapat berkerja sama. Benar adanya jika akal dapat mengetahui ha-hal yang baik, dan syara’ begitu juga. Namun perbedaan antara keduanya adalah akal hanya mengetahui kebenaran yang bersifat universal, sedangkan syara’ dapat mengetahui yang universal dan yang terperinci. Contoh kongkritnya adalah, akal tidak akan pernah mengetahui bagaimana menjadi indivudu yang sempurna, semisal puasa, shalat, dan zakat untuk mendekatkan diri kepada tuhan tanpa adanya syara’. Syara’ memberikan informasi kewahyuan, dan kebenaran dalam alquran yang bersifat universal.
Selebihnya, ada empat keterkaitan akal dengan syara’. Pertama, syara’ sebagai taqrir (pengakuan). Apa yang diketahui oleh akal terdapat dalam syara’. Syara’ dalam hal ini adalah sebagai taqrir bagi akal. Kedua. Syara’ sebagai tanbih (penyadaran). Apabila akal lalai atau melangkah dalam kesesatan, syara’ akan menegur keberadaan akal sehingga akal menjadi sadar. Ketiga, syara’ sebagai tadzkir (pengingat). Ini terjadi Ketika akal kehilangan ingatan, syara’ yang akan mengingatkannya. Keempat, syara’ sebagai ta’lim (pelajaran). Terkadang, akal sama sekali tidak mengetahui terhadap kebenaran, syara’lah yang akan menjadi pelajaran bagi akal.  Dengan kaitan akal dengan syara’, dapat disimpulkan bahwa akal tidak bisa menangkap kewajiban-kewajiban seorang hamba terhadap tuhannya tanpa syara’. Karena syara’lah yang membawa kewajiban-kewajiba tersebut. 
Menurut Al-Ghazali, untuk mengetahui hakikat sesuatu, tidak cukup dengan perolehan pengetahuan seperti yang telah dijelaskan di atas. Al-Ghazali menjelaskan, untuk mengetahui hakikat sesuatu harus diproleh melalui Dzauq. Dzauq berhubungan dengan ilham dan Mukasyafah. Dengan dzauq, ilham, dan mukasyafah, manusia tidak lagi butuh berfikir. Akan tetapi ia akan merasakan kehadiran hakikat sesuatu. Untuk mendapat pengetahuan semacam ini, manusia harus dapat membersihkan dirinya dari hawa nafsu yang menjadi penghalang untuk sampai pada tingkatan ini. Dengan ibadah dan hidup zuhud, manusia—tentunya harus berusaha (mujahadah)—akan sampai pada tingkatan ini. Di samping itu, manusia harus membersihkan dirinya dari selain tuhan dan mengisinya dengan mengingat tuhan.  
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa, akal tidak akan dapat mengetahui hakikat sesuatu.  

Manusia Paripurna
Di dalam diri manusia ada dua potensi, pertama potensi untuk menjadi jiwa yang sempurna sehingga ia dapat dekat dengan tuhan. Dan kedua adalah potensi untuk menjadi jiwa yang buruk yang mengikuti jiwa-jiwa kebinatangannya sehingga ia tidak jauh dengan sifat-sifat kebinatangan.
Manurut Al-Ghazali, untuk mencapai tujuan hidup yang sempurna, ada empat keutamaan yang ada dalam diri manusia. Keutamaan yang dimaksud Al-Ghazali adalah berfungsinya daya-daya yang dimiliki manusia. Keutamaan akan menuntut adanya keserasian tertentu dalam hubungan fungsional daya-daya yang dimiliki manusia.  Ada empat keutamaan yang dimiliki oleh manusia. Pertama, keutamaan jiwa (Al-Nafs). Keutamaan ini dibagi menjadi empat. Pertama, Al-Hikmah sebagai keutamaan akal. Kedua, al-syaja’ah sebagai keutamaan daya ghadhab. Ketiga, Al-Iffah sebagai keutamaan daya Al-Syahwah. Keempat, Al-‘Adalah. Al-ghadhab dan Al-Syahwah sebagai dua kecenderungan yang ada di dalam daya pendorong dan kehendak. Dalam diri manusia, akan timbul kecenderungan untuk berbuat dan bertindak yang di dasari oleh salah satu pendorong, Al-Ghadhab dan Al-Syahwah. Jika pendorongnya adalah Al-Ghadhab maka dalam diri manusia akan timbul sifat keberanian tanpa batas untuk melakukan sesuatu yang merugikannya. Jika syahwah yang didahulukan oleh manusia, maka akan timbul dalam diri manusia keserakahan seperti binatang.   Oleh karenanya, manusia sebagai makhluk yang bermoral dan memiliki akal dapat menangkap hikmah dalam dirinya.
 Al-hikmah dibagi dalam dua bagian. Pertama, Al-Hikmah Al-Nadzariyyah (kebijaksanaan teoritis) yang ditangka oleh akal teoritis. Yang dimaksud dengan kibijaksanaan teoritis adalah pengetahuan yang tetap dan bersifat universal seperti pengetahuan tentang ketuhanan, sifat-sifatnya, dan adanya balasan pada hari akhir. Dengan  pengetahuan ini, kecenderungan al-ghadhab dan al-syahwah dapat terkendali. Kedua, Al-Hikmah Al-Khuluqiyyah. Manusia tidak lepas dari sifat keburukan seperti menipu, berlebih-lebihan, kebodohan, dan kekurangan. Dari sifat buruk ini, al-hikmah al-khuluqiyah menjadi daya penyeimbang untuk mengendalikan hal itu. 
Al-syaja’ah adalah menjadi daya keseimbangan bagi dua keburukan ghadhab. Yaitu al-tahawwur (keberanian tanpa batas) dan al-jubn (kebekuan). Demikian juga Al-Iffat, ia merupakan keseimbangan bagi al-syarah (keserakahan) dan al-khomud (kebodohan).  Dengan hikmah-hikmah ini, Al-Ghazali menunjukkan akal sebagai tolak ukur sebagai penyeimbang. Oleh karenanya, manusia selain memiliki jiwa-jiwa keburukan, namun manusia dapat menyeimbangkan dan mengarahkan kepada hal-hal yang positif.  
Kedua, keutamaan-keutamaan badan (Al-Jism). Keutamaan jism terletak pada kesehatan badan, kekuatan badan, dan umur panjang. Dua keutamaan ini—keutamaan Al-Nafs dan Al-Jism—berpusat dalam diri manusia.
Ketiga, keutamaan yang ada di luar dirinya. Keutamaan ini seperti harta, istri cantik, dan anak sholeh.
Keempat, keutamaan Tawfiq. Menurut Al-Ghazali, tawfiq adalah kesesuaian kehendak manusia dengan qoda’ dan qodar tuhan. Dengan kata lain, Al-Tawfiq adalah pemberian tuhan kepada manusia yang bersifat arahan atau kecenderungan mengerjakan hal yang baik. Keutamaan-keutamaan tawfiq terdiri atas Al-Hidayah, Al-Ruysd, Al-Tasdid, dan Al-Ta’yid. Al-hidayah adalah prinsip kebaikan dari segi pengetahuan.  Dalam Al-Hidayah, Al-Ghazali membagi atas tiga macam. Yang pertama, pengetahuan yang didapat melalui akal atau dari rosul. Kedua, pengetahuan yang diberi oleh tuhan dalam kondisi tertentu sebagai akibat peningkatan ilmu dan amal baiknya. Yang ketiga, pengetahuan yang diperoleh dari nur pada tingkatan Al-Wilayah dan Al-Nubuwah.
Al-Rusyd adalah motivasi yang meransang seseprang untuk mencapai sebuah tujuan sehingga seseorang terdorang akan mebgerjakan hal yang baik. Al-ruyd memperkuat yang telah dilakukan oleh Al-Hidayah. Sedang Al-Ta’yid memperkuat apa yang diketahui oleh Al-Hidayah. Dan Al-Tasdid adalah bantuan sebagai penolong untuk bergerak dan bertidak. 
Dengan usaha-usaha di atas, manusia akan bisa menjadi pribadi yang sempurna dan mendapat kebahagiaan dunia akhirat.







































Daftar Rujukan

Al-Taftazani, Abu Wafa’. 1976. Madkhal Ila Al-Tasawuf Al-islami. Mesir: Dar As-Saqofah.
Yasir nasution, Muhammad. 1788. Manusia Menurut Al-Ghazali. Jakarta: rajawali pers
Anwar, saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali, dimensi  Ontologi dan Aksiologi. Bandung: Pustaka Setia.
Nur al-Ibrahimi, muhammad. Tanpa tahun. Ilmu Al-Mantiq. Surabaya:  Maktabah Saad Bin Nasir Nabhan.
Madkour, ibrohim. 1993. Filsafat islam, metode dan penerapan. Jakarta: PT. Raja grafindo persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar